15 April 2007

Berteman dengan teror - perjalanan misi ke Palu

Saat ditugaskan untuk meliput korban terror di Palu, pertanyaan yang muncul di kepala saya adalah, mengapa Palu? Mengapa Poso? Pertanyaan ini muncul mengingat beberapa kali kasus bom dan penembakan terjadi di wilayah tengah pulau sulawesi ini. Dan hasil diskusi saya dengan salah satu jurnalis menjawab pertanyaan tadi.

Semua orang berpendapat kalo ini masalah agama, pertikaian antar dua agama besar yang telah berlangsung berabad-abad, antara Kristen dan muslim. Yah kalau ditilik dari sejarah geografis, komposisi presentase antar dua agama itu seimbang ditambah letak Poso yang berada ditengah Indonesia membuatnya menjadi penting untuk dikuasai. Terlebih di Poso terdapat gereja tertua di Indonesia, sehingga diyakini kalau Poso adalah titik pertama dimana agama Kristen masuk.

Tapi apakah agama yang menjadi sumber masalah? Berkali kali saya yakinkan diri bahwa hal itu tak mungkin. Agama takkan menimbulkan kesusahan begitu rupa. Pasti ada alasan yang lebih tepat, kekuasaan misalnya. Pasti ada peperangan kekuasaan yang menggunakan agama sebagai kambing hitam. Siapa yang berebut kekuasaaan dan untuk alasan apa? Itulah PR bagi BIN sampai saat ini.

Perjuangan Jauh
Lama perjalanan harusnya hanya 3 jam, tapi karena Palu termasuk daerah kecil yang kurang menjual hingga sekarang tak ada penerbangan langsung ke daerah ini. Lebih parahnya saya harus transit di dua tempat sebelum akhirnya tiba di Palu. Ditambah lamanya transit dan terlambatnya jadwal pesawat, hingga lengkaplah penderitaan saya.

Ternyata mencapai Palu bukan hanya menempuh perjalanan jauh, tapi juga perjuangan jauh. Tiga kali naik turun pesawat, hanya disuguhi air mineral, mengalami pendaratan pesawat yang tidak pernah mulus hingga buat dag dig dug, siapa tahu nyawa saya berakhir di penerbangan ini. Dan belum selesai sampai situ, saya juga harus menunggu waktu transit yang cukup lama dan tidak menarik.

Berangkat jam 10 pagi, tertunda satu jam, tiba di Surabaya pukul 1 siang. Lalu betapa sebal dan malasnya saya ketika tahu pesawat berikutnya baru ada pukul 5 sore, itupun harus menunggu pesawat tiba dari Timika-Papua. Pesawat itulah yang akan membawa kami. Sebal karena harus menunggu lama, letak bandara Surabaya yang diluar kota, memerlukan sekurangnya 2 jam ke kota, itungan macet sudah diukur. Waktu yang tanggung seperti itu bikin kesel saya bertambah, saya tak bisa pergi ke Tanjungan Plaza untuk sekedar cuci mata.Yang ada kami hanya ke daerah GIANT untuk brunch, itu pun atas rekomendasi sohib saya.

Sudah buru buru mengejar waktu, tapi saya lupa kalau pesawat di Indonesia sudah pasti akan telat, yang ada perjalanan kami lagi lagi terhambat satu jam, untuk alasan yang tidak diketahui, dan bertanya pun rasanya tak ada guna karena tidak pernah ada alasan mengenai kenapa pesawat kami terlambat. Seharian kami hanya menunggu, turun naik pesawat dan kembung dari air mineral. Jam 11 malam waktu setempat kami baru tiba. Di jemput rekanan dokter dengan sebuah ambulance.

Palu-Sulawesi
Jiwa petualangan saya pupus selama perjalanan. Saat tiba saya lelah tapi masih menyempatkan untuk mengamati tempat baru ini. Yang saya sadari, saat itu malam dan sepi. Palu banyak meningatkan saya pada kota Menado minus deretan gereja dan angkot full music. Rekan saya setuju, Palu seperti kota Menado puluhan yang tahun silam. Dan ternyata kesunyian dan rasa sepi yang kami rasakan bukanlah tanpa alasan. Sejak tindakan teror terus menerus terjadi di daerah sulawesi, warga memilih untuk tidak keluar malam. Kesunyian semakin mencekam saat saya dengar gossip yang beredar. Disarankan bagi para perempuan yang terpaksa harus keluar malam untuk jangan lupa membawa kantong plastic hitam. Ini dimaksudkan agar bila peneror itu datang dan memenggal kepala mereka, peneror tak perlu membuang jauh jauh kepala tersebut, tapi cukup ditaruh di dalam kantong plastic. Palu sepertinya dihantui terror.

Bertemu sang saksi kunci
Ada tiga kasus yang ditangani ketika itu, meski terjadi di dua tempat berbeda, ketiganya mempunyai benang merah, korban sebuah terror. Jika ditanya apa motif dibalik semua ini, tak ada yang bisa menjawab. Seolah hal ini terbiasa terjadi, tanpa peduli kehidupan manusia hilang akibat tindakan ini, belum lagi trauma dan rasa aman yang terampas karenanya. Penyelidikan yang dilakukan sampai sekarang pun belum menemui titik terang.

Saya jadi ingat ungkapan Suciwati saat jumpa pers, sesaat setelah ia diperlihatkan hasil otopsi kematian suaminya munir. Jangan tanyakan perasaan saya! Entah pertanyaan tentang perasaan tersebut layak atau tidak, tapi justru pertanyaan itulah yang menjadi pembuka sesi wawancara saya dengan mereka.

Jawaban dari setiap pertanyaan sering kali membuat saya berpikir. Terutama saat Misrah, ibunda Siti bertutur bahwa keadaan jauh lebih baik saat Poso rusuh. Setidaknya saat itu jelas diketahui siapa dan dimana titik konsentrasi terjadi sehingga ia dan keluarganya bisa menghindar atau bersembunyi. Tidak seperti sekarang, kita tidak tahu dimana dan siapa yang jadi sasaran. Semua orang dan dimana saja bisa jadi sasaran. Anaknya Siti saat itu sedang berkunjung ke rumah Ivon. Penembakan terjadi di depan rumah, oleh pemuda yang mereka kenal sebagai tukang ojek di daerahnya. Sempat tersangka memperkenalkan dirinya sebagai inteligen tapi dalam penyelidikan hal tersebut tak terbukti.

Siti terbaring lemas hasil dua tembakan yang diarahkan kepadanya. Bulir peluru panas mengenai pipi kiri dan rahang kanannya. Satu proyektil pun masih bersarang di rahangnya.

Lain lagi Agusmon Moganti, ayah Ivon yang bercerita kalau ia tidak pernah menyangka tindakan terror akan di hadapi anaknya. Namun aneh, biasanya ia selalu geram saat mendengar terror terjadi, tapi saat hal tersebut terjadi pada anaknya, rasa itu hilang. Ia hanya bisa terdiam, tuk menuntut keadilan dia serahkan sepenuhnya pada kepolisian. Rasa marah itu tertahan saat ayat alkitab dalam Matius 5:39 Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu. Berulang ulang terdengar dalam hatinya.

Saya juga sempat berbicara dengan Ivon yang ketika itu terbaring dengan lubang di tengorokan tindakan yang dilakukan tim medis untuk membantu jalannya nafas. Peluru menembusi pipi kiri dan kanannya sebelum akhirnya mengenai pipi kiri Siti. Saat kejadian mereka sedang duduk berdampingan. Kondisi Ivon stabil, hingga ia bisa bercerita.

Ivon masih ingat benar detik detik kejadian, semua berlangsung cepat. Ivon pun merasa dirinya sasaran dan pelaku bukan hanya bermaksud melukainya, tapi juga membunuhnya. Dalam penyelidikan, tersangka mengaku bahwa motivasinya adalah uang, ia dibayar. Tapi siapa yang mendalangi dan siapa sesungguhnya yang dituju, semua masih kabur.

Saat saya bertanya apakah Ivon berniat menemui tersangka yang juga dia kenal dan menanyakan apa maksud semua ini? Takut, itu jawabannya. Ivon takut karena apapun alasannya, Ivon merasa tersangka mau membunuhnya. Setelah misinya gagal, Ivon merasa nyawanya masih terancam.

Rasa aman memang tak pernah tersedia di Negara ini, juga bagi mereka yang termasuk saksi kunci. Apakah ini masalah agama? Bahwa seseorang penganut agama tertentu menjadi sasaran dari penganut agama lain? Untuk kasus ivon dan siti teori ini tidak berlaku. Keduanya adalah teman lama di kala bangku SMP, dua sahabat ini terpaksa berpisah karena menempuh SMU di tempat yang berbeda. Hari itu mereka bertemu tuk melepas rindu. Siti seorang muslim dan Ivon Kristen. Keduanya bersahabat, keduanya menjadi korban. Fisik mereka memang terluka, namun saya hanya bisa berharap agar persahabatan mereka tak ikut terluka.

Kelat kelit Aparat Masyarakat
Baru pertama kali dalam bekerja, saya berhadapan dengan begitu banyak polisi, tapi impresi yang saya dapat justru birokrasi yang berbelit belit. Dari mana, mau bertemu siapa, ada urusan apa, mana surat tugas? Belum lagi saya harus dioper dari satu divisi ke divisi lainnya lalu menunggu jam sholat plus jam makan siang yang tak menentu kapan mulai dan berakhirnya. Kameraman saya sempat tertidur pulas di ruang tunggu yang menampilkan tiga point ikrar dari kepolisian. Jelas ketiganya hanya menjadi ikrar yang beku tertempel di tembok. Di setiap kesempatan saya harus bertutur dengan bahasa Indonesia EYD, seolah mempertegas tingkat kekuasaan yang mereka miliki. Yah inilah wajah pelindung masyarakat kita.

Teror tampaknya telah jadi bagian dari hidup masyarakat. Dengan tak terselesaikannya kasus kasus terror, membuat tanda tanya besar dan juga hilangnya rasa aman. Hal ini diperparah dengan terlibatnya aparat di beberapa kasus, mereka yang harusnya menjamin rasa aman berbalik menjadi pemangsa.

Ada dua alternative menghadapi ini, beradaptasi dan berteman dengan terror, atau seperti Munir dan teman teman aktivis lain, lawan!!! dengan segala resiko yang ada. Saya memilih yang kedua.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home