15 April 2007

Impian dalam pernikahan

Suatu hari bos saya bertanya:
“jika sudah menikah, apakah kamu akan mengijinkan suamimu pergi jauh?”
(pernyataan ini mengacu pada dirinya yang selalu pergi dinas luar kota setiap minggu, meninggalkan istri and a son to be)
Saya kemudian menjawab:
“justru pertanyaan yang sama akan saya tanyakan ke suami. Jika sudah menikah nanti, apakah ia menginjinkan istrinya pergi jauh?”
Jawaban itu memancing reaksi kaget diikuti gelengan kepala serta pandangan bahwa saya tidak siap menikah.

Terlalu egois?
Saya tahu kalau menikah adalah peleburan dua kehidupan manusia. Harus ada toleransi. namun bagaimana dengan saya yang mempunyai mimpi menjadi jurnalis, bahkan jurnalis perang. Apakah saya harus mengurungkan impian saya atas nama pernikahan atau cinta?

Saat kecil dulu, orang dengan mudah orang bercerita tentang impiannya. Saya dulu, ingin memilih astronot, impian tertinggi yang bisa dipikirkan, menjelajah luar angkasa. Seiring kedewasaan, sayapun bertemu realita, monster buas yang memilah antara kenyataan dan khayalan. Nyatanya impian tidak untuk menemani tidur kita, tapi untuk diwujudkan. Bayangkan itu, menghidupi impian.

Bukan salah saya jika jurnalis yang terpilih, kalau traveling akan menjadi nama tengah dari pekerjaan itu dan liputan menjadi nadi dari impian yang saya pilih. Lalu bagaimana mentolelirnya dengan orang lain?

Akhir akhir ini saya menemukan banyak orang yang mulai melupakan impiannya. Bahkan ketika saya tanya, jawabannya jujur, impian saya adalah untuk menikahi “A”. Apakah itu impian yang sesungguhnya? Mana impianmu waktu kecil dulu? Sudahkah di kuburkan jauh jauh ke dalam tanah?

Ditambah saat saya menonton film “A View From Top” kisah Gwyneth Partlow, seorang gadis yang bercita cita menjadi pramugari pesawat international business class. Ia memimpikan Paris dan berusaha keras untuk itu. Meski banyak halangan, namun ia berhasil mencapai dan menghidupi impiannya. Cerita tidak berakhir sampai situ, problema klimaks yang ditawarkan sutradara justru pilihan antara impian atau cinta. Gwyneth ditantang dengan dua pilihan, menjadi pramugari internasional impiannya atau menjadi pramugari local di Dallas yang semula ia benci namun dekat dengan pacar. Gampang ditebak, moral yang diangkat justru pilihan kedua. Sebuah kisah sad-ending buat saya.

Saya tidak menTuhankan impian saya, justru bertanya, semudah itukan impian terhapuskan? Bukankah toleransi tidak berarti eliminasi? Saya tidak memerlukan laki laki yang mengatakan betapa bahayanya pekerjaan saya, yang berkali kali mengingatkan : “kamu tuh perempuan!” (so what gitu loh???) yang membuat saya mengurungkan diri untuk pergi ke daerah konflik saat rasa khawatir menyerang.

Saya ingat saat saya menjalani perjalanan jakarta-surabaya-bali seorang diri. Ini perjalanan solo saya perdana saya. Cetek memang, tapi keraguan itu timbul begitu saja, hingga berkali kali saya berniat untuk mengagalkannya. Dan laki laki ini datang, menguatkan saya, membuat saya melihat alternative lain, bagaimana menantang dan pengalaman berharga yang akan saya dapatkan. Ia tidak menemani perjalanan saya, tapi menenangkan saya dan yakin jika saya dapat menyelesaikan perjalanan ini.

Lain lagi saat pertama kali menginjakan kaki ke Palu untuk menolong korban penembakan teror di sana. Laki laki ini menenangkan saya dengan memberikan data yang begitu panjang tentang situasi di sana, ia yakinkan saya dengan memberikan nomor kontak beberapa orang local yang bisa saya hubungi jika memerlukan bantuan.

Sayangnya laki laki ini sudah berkeluarga (berbahagialah istri dan anak anaknya)
Tapi ini membuktikan kalau laki laki impian saya tidak semu.
Ini masih menjadi pencarian terbesar dalam hidup saya, dibarengi dengan misi menghidupi impian.

Satu yang saya pegang,
Jangan pernah lupakan mimpimu
Tapi carilah seseorang yang dapat menopangmu tinggi dan membuatmu lebih dekat dengan bintangmu

0 Comments:

Post a Comment

<< Home