15 April 2007

Jakarta dalam ruangan kafe

Saya mungkin terinspirasi oleh djenar maesa ayu yang mencantumkan lokasi, dan tanggal di akhir cerpennya. Yang bikin iri, lokasi yang dipilih djenar bukanlah tempat meditasi ato persembunyian khusus. Tapi kafe, bahkan tempat dugem. Di pikiran saya “hei…saya juga sering ke tempat itu, tapi kenapa saya tidak ada inspirasi yang saya dapatkan.” Makanya anda akan sering melihat saya memaki maki diri seusai membaca cerpen djenar. Bukan karena dibuat greget oleh cerita, tapi oleh pencantuman lokasi tadi.

Saya ga tahu kenapa saya bisa terdampar di kafe globalisasi ini. Sendiri pula, dengan rhumba grande dan chesse cake, nyempil di sofa pojokan depan pintu masuk. Saking menyendirinya sofa didepan saya diambil pengunjung lain. Ketahuan banget ya saya ga menunggu siapa siapa.

Dengan notebook di depan mata, keberadaan saya sedikit terangkat, antara mahasiswa stress ato penulis cari inspirasi? Kira kira bagaimana orang melihat saya? Kasian? Ato …. Ga peduli?

Saya begitu mencintai suasana ini. Rayuan eksekutif muda negosiasi proyek berbaur dengan celoteh arisan ibu ibu muda. Lampu kuning kafe bercampur aroma kopi import. Ini Jakarta.

Berada di kafe ini membuat saya tenggelam di keramaian kota. Selain kopi dan kue, ada juga beragam majalah gratis yang bobotnya semakin menyaingi majalah komersil. Baterai hp dan notebook drop, tinggal colok gratis di kontak listrik yang tersedia. Kalaupun ada yang kurang, sayang kafe ini tidak buka 24 jam.

Setelah berkali kali mengundang teman teman saya tanpa hasil, saya kembali sendiri. Teman saya kemudian bingung, “ngapain loe sendirian disana? Pulang sana, kayak ga punya rumah.” Hmm emangnya ga boleh sendiri? Pembelaan saya, ini waktu berkualitas, saya bisa berdiam diri, menyempurnakan inspirasi dan merealisasikannya. Kafe ini menjadi titik semedi dan pelarian saya.

Dan tampaknya saya tidak sendiri, tepat di sebrang pandangan mata, juga ada laki laki seorang diri ditemani kopi dan sibuk memainkan handphone. Sesekali menatap pandangan ke arah jendela. Tak banyak pemandangan yang ditawarkan disana, hanya mobil berjalan tersendat mencari parkir. Mungkin dia menunggu sesorang, atau seperti saya, tenggelam dalam suasana kota.

Apakah kafe ini bisa mewakili kehidupan kota? Orang lalu lalang, membayar mahal untuk secangkir kopi yang tak ubahnya dengan kopi tubruk. Kesibukan yang membawa kita tidak peduli dengan orang sekitar. “Mind your own business please!”Dan arogansi perkotaan membuat kita, saya mungkin, memilih untuk menyepi diri dan menikmati kota jakarta.

Welcome to the city darling…..
Starbucks tebet, Senin 13 maret 2006

0 Comments:

Post a Comment

<< Home