15 April 2007

Bendera ku merah putih

Sudah pasang bendera? Saat saya pulang tadi, saya belum melihat merah putih berkibar di depan rumah. Mungkin sengaja akan dipasang besok jam 10 seiring pengibaran bendera di istana negara. Bendera saya hampir mirip bendera pusaka. Itu karena umurnya sudah usang. Selagi bendera itu masih merah putih dan bisa berkibar, sepertinya tak ada keinginan untuk mengistirahatkannya.

Saat hari kemerdekaan saya selalu kangen dengan upacara. Kapan ya terakhir saya hormat bendera, atau mengiringi pengibaran dengan lagu Indonesia raya? Saya kangen, padahal dulu malesnya luar biasa. Upacara itu identik dengan panas dan berjemur, kalau kita bisa lesehan mungkin tak apa, tapi ini 2 jam berdiri tegak tanpa ekspresi. Posisi istirahat pun tak sepenuhnya istirahat, otot saya masih bekerja dan pegal sekali rasanya. Buat saya yang berdarah rendah dan jarang sarapan, pingsan uda langganan, mulai dari yang tiba tiba sampai disengaja karena malas.

Waktu SMU saya mulai melihat sesuatu yang berbeda. Apalagi setelah melihat formasi 17an yang wah banget. Berseragam PDL, pakai peci, slayer merah, sarung tangan, belum lagi pin garuda Indonesia. Tumben biasanya saya benci seragam, tapi seragam pasukan pengibar bendera keren sekali. Saya langsung jatuh cinta dan mati matian belajar semua tata cara PBB. Saya langsung bernazar, tahun depan saya harus jadi pasukan pengibar bendera 17an.

Sejak itu saya berkenalan dengan paskibra. Entah ada angin apa, saya terus bertahan meski diomelin senior, harus bangun pagi, dan disiksa dengan latihan fisik. Dan tak ada satu pun yang saya lakukan dengan sempurna. Saya biasa aja kok. Tapi saya niat. Niat menyelesaikan latihan ini sampai selesai. Sampai topi bertuliskan nama saya diberikan, sampai pin merah putih disematkan di dada.

Nasionalis? Hmm saat itu tidak juga. Tapi ada benda keramat yang paling kita takuti. Yup bendera. Saya jadi hormat banget dengan si merah putih. Jangan sampai ia jatuh ke tanah, terbelit atau ditaruh sembarangan. Bukan bermaksud mendewakan, tapi itu bendera negara, jadi harus diperlakukan selayaknya. Ia bukan sembarangan kain merah dan putih.

Dulu juga saya paling panik kalau hujan, apalagi kalau hari senin. Dipikiran saya cuman satu, bendera upacara masih tergantung di lapangan. Segera saya mencari paskibra lain lalu lari sekencang kencangnya untuk menyelamatkan bendera. Si merah putih tidak boleh basah. Yang paling terkesan buat saya, meski hujan lebat, kami masih sempat memberi hormat kepada bendera sebelum menurunkannya. Bayangkan, saat itu hujan lebat, dan bisa saja saya langsung menarik tali dan mengambil bendera. Tapi tidak, kami terlebih dahulu hormat.

Melihat bendera Indonesia bersanding dengan bendera lain, saya sering mikir. Kok sederhana banget sih? Cuman kain merah dan putih berhimpitan. Pingin juga punya bendera yang warna warni, atau ada bintangnya. Ya apalah yang lebih meriah.

Tapi jaman kemerdekaan dulu, mungkin tidak kepikiran seperti itu. Saat itu ada masa vakum antara penjajahan belanda dan jepang. Kaum muda melihat bahwa kesempatan ini tidak boleh dilewatkan begitu saja, ini saat yang ditunggu tunggu. The time is come, the timing is right. Bung Karno dan Bung Hatta pun di culik ke Rengasdengklok. Ini saatnya lahir negara kita sendiri.

Semuanya sudah dirumuskan, mulai dari naskah, susunan acara proklamasi, tempat, waktu, lagu, lalu bagaimana dengan bendera? Apa bendera Indonesia? Dicarilah bentuk yang bisa mewakili. Lalu ibu Fatmawati, istri bung Karno menyatukan kain merah dan putih. Sejarah mencatat merah berarti berani, putih berarti suci. Bendera ini melambangkan kemerdekaan yang didapatkan melalui perjuangan darah dan perlawanan suci demi kebebasan dari penjajahan dan lahirnya bangsa Indonesia. Kalau sudah gini, mana bisa protes betapa sederhananya bendera Indonesia?

Hari ini Indonesia merdeka, saya pasang bendera dan menghormatinya. Bukan hanya lewat gerakan tangan, tapi dengan seluruh kehidupan saya.

1:28 am

0 Comments:

Post a Comment

<< Home