15 April 2007

Duka Pemakaman

Pertanyaan tentang kepastian saya untuk datang ziarah terus bergulir, jawaban saya tidak berubah, antara tidak tahu dan tidak.

Sulit bagi saya untuk datang ke pemakaman. Ini satu satunya acara yang tidak saya sukai. Saya bingung, tidak mengerti dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Berpakaian hitam, menangis dan berwajah sedih? Sepertinya terlalu dibuat buat.

Pengalaman pertama saya alami saat kakek meninggal. Saat itu saya masih SD. Tidak ada perasaan yang menonjol, saya hanya mengamati. Ya, saya masih terlalu kecil untuk mengerti artinya perpisahan. Tak ada air mata, saya justru memandang kagum cece yang turut nangis dalam peristiwa itu. Buat saya pemakaman tersebut adalah perjalanan wisata ke Bangka bersama keluarga besar. Saya bolos sekolah dan pulang ke Bangka bersama seluruh sepupu saya.

Mengunjungi makam kakek menjadi rutinitas baru di keluarga. Waktu kecil beberapa kali saya diajak ke Bangka, mengunjungi makam, menabur kembang dan berdoa di depannya. Kalau boleh jujur, saya bingung berdoa apa dan kepada siapa. Karena masih kecil, saya hanya komat kamit dan menutup mata sejenak. Saya justru lebih tertarik melihat nama saya yang tertera di batu nisan. Nama saya ada dalam daftar keluarga yang ditinggalkan.

Pengalaman selanjutnya saya alami saat teman saya meninggal akibat kecelakaan. Semua begitu tiba tiba dan tak terduga. Tentu saja saya kehilangan, dan sedih serta menangis. Namun impresi yang saya dapat malah penyesalan. Tak ada lagi yang bisa lakukan untuknya. Semua percuma dan terlambat. Pemakaman menjadi moment perpisahan dengan kata kata yang tak terucap. Dia tidak bisa melihat maupun mendengar kata perpisahan kita. Tidak juga mengerti betapa kehilangan dan sedihnya perasaan saya. Yang saya lakukan hanya menangis.

Dalam 2 tahun terakhir, 3 dosen sekaligus mentor saya, menutup mata untuk selama lamanya. Dan kali ini saya menyempatkan diri untuk datang, bahkan seorang diri. Keputusan ini diambil karena begitu besar peran dosen tersebut dalam kehidupan saya. Mereka menyiram impian saya, mengamini idealisme saya, menjadi pendukung terbesar saya. Saya melihat kedatangan sebagai penghormatan yang bisa saya lakukan. Tidak ditujukan untuk almarhum, tapi lebih kepada keluarga dan rekan rekannya. Agar mereka tahu betapa almarhum telah berkarya dan memberkati orang lain selama hidup, saya salah satunya.

Jika ada pilihan, saya lebih baik menghindari pemakaman. Maaf, saya hanya tidak tahu bagaimana harus bersikap.

13 August 2006

0 Comments:

Post a Comment

<< Home