02 October 2010

Bermain ke Salihara

"Eh ke Salihara yuk, lagi ada Festival Seni di sana," ajak saya kepada rekan-rekan seprofesi yang biasa mangkal di Jakarta Timur. Jawaban mereka beragam, sebagian besar mengira, saya dan teman-teman kantor memang getol nongkrong di tempat yang menempatkan Gunawan Mohamad, pendiri Majalah Tempo, sebagai salah satu pendiri Komunitas Salihara. Tapi jujur, ini kali pertama saya menginjakan kaki ke kompleks seni dan budaya itu.
Alasannya semata-mata karena lokasi. Sulit bagi saya, yang tinggal Jakarta Barat mencapai wilayah Pasar Minggu. It's too jungle for me. Keberanian muncul saat Festival Salihara menjelang dan saya kebagian tiket gratis dari twitter @salihara. Kepalang basah dapat tiket, mau ga mau, hujan badai pun saya hadapi.

Sesampainya di sana, ternyata Salihara adalah nama jalan di Pasar Minggu, bukan nama gubahan bahasa sansekerta seperti yang saya kira sebelumnya (terbongkarlah betapa kupernya saya). Beruntung benar kompleks seni ini terletak di nama jalan yang indah karena tak jauh dari situ, ada jalan Bacang, jalan Bambu Kuning dan juga jalan Ragunan. Coba bayangkan dinamakan Komunitas Ragunan rasanya kurang pas. Pemakaian nama jalan sebagai merek dagang, juga sebelumnya digunakan di Utan Kayu, asal muasal komunitas ini berkembang.
Menempati luas lahan 3000 meter persegi (seluas tanah rumah saya sekarang *cihh sombong*) Komunitas Salihara tidak berada di pinggir jalan besar. Lokasinya agak nyempil di dekat kompleks Kejaksaan Agung dan Universitas Nasional. Posisi terjepit ini membuat tempat parkir amat sangat terbatas, penonton diwajibkan datang 2 jam sebelum pertunjukan karena mencari lahan parkir jadi pertempuran tersendiri. Langkah pertama, pengunjung disapa Kedai Salihara. Warung makan minum, lengkap dengan fasilitas free wifi jadi ruang tunggu yang menyenangkan. Tersedia snack ringan seperti kripik bayam (10ribu) hingga makanan berat rawon daging (20ribu) yang jadi sajian terlaris di tempat ini. Dan benar saja, Rawon Daging patut dipoejikan. Kuah hitam pekat sedikit kental dengan rasa kluwek yang nonjok. Potongan daging dadu tanpa lemak empuk, mulus tanpa perlawanan. Warnanya pun sedikit menghitam, tanda dimasak dalam rebusan kuah hingga rasa rawon terasa saat daging tergigit.

Satu paket termasuk nasi putih, kerupuk udang, kecambah tauge dan separuh telur asin untuk diceburkan dalam kuah. Rawon terlezat yang pernah saya nikmati, bikin ketagihan. Tapi Pempek Kapal Selam (15ribu) yang saya pesan justru rasanya memble, yang terkecap di lidah justru lebih banyak tepung terigu. Puas makan, kini saatnya nikmati seni.

Dalam rangka Festival Salihara yang berlangsung hingga 20 Oktober mendatang, instalasi seni memang terlihat di seluruh sudut kompleks. Tembok penuh goresan kuas warna warni bahkan kamar mandi diubah jadi galeri seni. Di depan pintu masuk ruang teater, ditempatkan gajah raksasa karya pematung Joko Dwi Avianto yang ini luar biasa besar. Tingginya sekitar 2 meter, melebihi gajah hidup yang biasa saya lihat di kebun binatang. Semuanya terbuat dari bilah bambu yang dilengkungkan, meliuk-liuk mengikuti bentuk tubuh gajah lengkap dengan belalai dan taring. Saking besarnya, saya bisa berdiri tepat di bawah badan gajah dan menatap pesona 'rajutan' bambu yang saling tumpang tindih. Tidak hanya seni statis, tiap malam digelar satu pertunjukan seni bisa musik, tari atau teater dengan harga tiket 50-100 ribu. Namun gedung pertunjukan seni yang tersedia bukanlah skala besar. Ruang teater misalnya, dirancang berbentuk blackbox hanya mampu menampung 300 penonton. Ruangan kosong ala studio dimaksudkan agar seniman leluasa merancang pertunjukannya, sebaliknya bangku penonton dibongkar pasang hingga kadang agak ngeri menaiki tangga pada bangku yang disusun berundak-undak tinggi. Lokasi lain, ruang galeri dibentuk melingkar berbentuk tabung. Areal favorit saya justru berada di tingkat teratas, berupa loteng tanpa atap atas atap, yang sayangnya tidak didukung pemandangan. Sejauh mata memandang hanyalah atap rumah berdempet yang gelap gulita kala malam. Salihara di ujung timur jadi harta penikmat seni, meski butuh perjuangan, rawon daging dan pertunjukan seni tak ada duanya jadi daya tarik tuk terus kembali. Jadi jangan lupa follow twitter @salihara, ada dua tiket gratis dibagikan tiap harinya hingga Festival Salihara berakhir.

Posted via email from vennie's posterous

0 Comments:

Post a Comment

<< Home