25 April 2007

bohong-tidak bohong, jujur-tidak jujur

Adalah keluarga malas yang sedang menantikan lamaran dari keluarga bohong. Melalui telepon, malas menyarankan agar bohong datang setelah makan siang karena malas malas menyiapkan makan siang. Bohong setuju namun datang jua saat makan siang karena dia berbohong. Sebagai saksi, didatangkan ketua RT yaitu keluarga lupa. Proses berjalan lancar, meski beberapa kali lupa lupa dengan tugas yang sedang dijabaninya. Bahkan lupa lupa dengan istrinya sendiri yang dia sangka anaknya. Tak lama anak gadis malas hadir, rupanya ia baru bangun meski hari sudah siang. Ibu malas pun memuji sifat anaknya yang malas, karena dianggap sesuai dengan karakteristik keluarga mereka. Saat yang dinanti tiba, sampai akhirnya diketahui kalau bohong berbohong. Kedatangannya ke tempat malas bukan untuk melamar, bohong bahkan tak punya anak laki laki. Bohong hanya ingin mendapatkan makan siang gratis.

Penggalan komedi ini merupakan babak akhir dari Extravaganza Senin 4 September 2006 di Trans TV. Sebuah penutup yang manis, menggelitik dan cerdas. Lucu sekali rasanya, tiga keluarga tersebut bersikap jujur sesuai dengan karakteristik mereka. Bahkan keluarga bohong pun jujur. Jika dibandingkan dengan kehidupan sehari hari, alangkah menariknya jika kita bisa berlaku seperti itu. Sayangnya kita lebih sering bersandiwara dan berakting.

Di hadapan paman, saya selalu menjadi rajin, berlaku sibuk, mengerjakan ini itu. Tapi saat dia tidak ada, saya dan teman yang lain memikirkan adakah kemungkinan paman saya keluar kantor hingga saya bisa pulang lebih cepat. Yah, saya sebenarnya si malas. Peran ini juga saya aktingkan saat terpilih jadi kandidat ketua MPK jaman SMU dulu. Demi mendapatkan suara di kalangan guru, saya langsung duduk paling depan, berpakaian rapi, baju rapi masuk ke dalam rok, persis jojon dan memperhatikan sungguh sungguh. Semua agar mereka mengenali saya sebagai si rajin.

Saya sekaligus sudah menjadi si bohong, membohongi orang lain, demi keuntungan sendiri. Pastinya ada maksud dibalik peran yang saya mainkan, entah secara fisik maupun jiwa, pokoknya mendatangkan kebaikan untuk saya. Apakah saya sadar sedang berakting, tentu saja. Saya lakukan ini dengan kesadaran yang prima. Cape? Kadang kadang, tapi bersikap jujur dalam masyarakat sepertinya sulit. Saya tidak bisa menjadi malas, bohong dan lupa, mereka menuntut saya untuk rajin, jujur dan selalu ingat. Penilaian orang sekitar menjadi penting karena saya mahluk sosial.

Tuntutan ini semakin parah saat saya mulai berbohong pada diri sendiri, saya jadi tidak mengenali siapa saya. Saat saya berbohong pada orang lain, mereka tak akan tahu kalau saya sedang berbohong. Tapi lain saat saya berbohong pada diri sendiri, saya pribadi tahu mana yang benar dan tidak benar, bahkan tahu bahwa saya sedang berbohong. Jika berbohong pada orang lain digunakan untuk mendapatkan keuntungan bagi diri sendiri, saya tidak tahu siapa yang diuntungkan saat saya berbohong pada diri sendiri.

Dalam praktiknya saya selalu menjadi orang yang mempunyai standart ganda. Saya orang yang suka merencanakan sesuatu, tapi sering telat dan tidak menghargai waktu. Saya mempunyai mimpi besar tapi malas bekerja keras. Saya orang cengeng yang tidak menangis saat pemakaman dan perpisahan. Seperti teman saya seorang penyendiri yang ingin ditemani, yang tak mau mengakui bahwa sebenarnya ia tak ingin sendiri.

Andai saja saya bisa memerankan peran seperti babak penutup extravaganza diatas. Alangkah sempurnanya, saya bisa jujur terhadap diri saya sendiri dan juga masyarakat. Sayangnya saya hidup bukan untuk diri sendiri, tapi untuk mereka yang ada di sekeliling saya.

22.40 pm

0 Comments:

Post a Comment

<< Home