25 April 2007

Life after I say I do…

“Ngurus gw gampang kok, apa aja mau!”

Hmm… inikah gambaran laki laki tentang pernikahan? Bahwa nantinya akan ada yang mengurus kehidupannya. Memasak makanan favoritnya, makanan instant sekalipun. Yang siap menyapa saat pulang kantor sambil menyuguhkan es teh manis? Yang akan kau panggil istri?

Terakhir kali saya berhubungan saya dipuji karena kedekatan saya dengan anak anak. “Kamu bisa jadi ibu yang baik” begitu pujiannya. Buat saya ini lebih dari sekedar pujian, tapi sebuah tuntutan, bahwa setelah mengucapkan “saya bersedia” saya harus menjadi ibu yang baik, bisa mengurus anak. Saya harus bisa menjadi pengurus rumah yang baik, seorang pembantu rumah tangga yang dibayar dengan panggilan istri.

Semua orang tahu kalau saya jauh dari gambaran istri ideal. Saya punya pandangan sendiri. Kata orang saya tidak membutuhkan orang lain, yang jelas saya tidak mau tergantung dengan orang lain. Kalau bisa saya kerjakan sendiri, kenapa butuh orang lain? Saya tidak pandai memasak tapi brownies pertama buatan saya mampu membuat orang ketagihan.

Saya tidak jago dalam urusan rumah tangga. Tapi semuanya bisa dipelajari. Nyapu, ngepel, masak, gosok, cuci piring, cuci baju. Semua itu hal mudah jika kamu mau mempelajarinya. Kalau sekarang saya tidak melakukannya, karena ada oneng dan iroh yang bekerja untuk itu.

Saat di aceh saya cuci, jemur dan gosok baju sendiri. Di sana juga saya sanggup memasakkan mie instant untuk anak2 pos dan membuat es buah tanpa es karena minimnya es di Pantai Barat. Di Sydney pun saya pernah masak sup jagung, semua dari bahan alami, bukan kalengan. Di mulai dari merebus ayam untuk mendapatkan kaldu, mengupas jagung, mencincang daging, sosis dsb.

Tapi itu bukan modal untuk menikah. Bukankah urusan rumah tangga harusnya menjadi urusan berdua? Bukankah rumah itu ditinggal berdua? Lalu kenapa pekerjaannya harus dilimpahkan ke satu pihak saja? Semua orang dewasa harusnya bisa mengurus rumah, apalagi jika ia berencana tinggal sendiri tanpa orang tua.

Bagaimana jika saya diminta untuk tidak bekerja setelah menikah? Ini lebih sulit lagi, mungkin pihak laki laki merasa pendapatannya cukup untuk menghidupi keluarga. Tak perlu lagi penghasilan tambahan. Istri cukuplah di rumah, hidup santai berbahagia. Biarlah suami yang stress memikirkan pendapatan. Tapi uang bukanlah alasan saya untuk bekerja. Saya bekerja untuk memenuhi panggilan hidup, pencapaian pribadi. Bekerja adalah hidup itu sendiri. Bukan bermaksud mengecilkan pekerjaan ibu rumah tangga, iya itu juga sebuah pekerjaan. Tapi saya pikir saya memiliki potensi lebih dari sekedar mengurus rumah tangga.

Saya tidak tahu kompromi seperti apa yang akan saya lakukan saat menikah nanti. Bisa jadi nanti saya malah jadi ibu rumah tangga sepenuh waktu dan menguburkan gambaran idealis yang tertoreh disini. Atau bisa juga saya tidak akan pernah menikah karena tak ada kata sepakat.

Penutup
Tuntutan yang sama juga diberikan perempuan terhadap suami pada umumnya. Saya harus jujur, pasti saya menginginkan suami yang berpenghasilan lebih dari saya. Bahwa nantinya beban kehidupan sebagian besar ditanggung olehnya. Gaji saya? Hanya sebagai tambahan atau kalau tidak diperlukan, gaji itu akan saya pakai untuk keperluan pribadi saya. Beli buku, DVD, komik, baju, sepatu dan jalan jalan. Saya tidak pernah memikirkan bahwa gaji saya akan dihabiskan untuk membayar kredit rumah, mobil, beli susu anak.

Mungkin tuntutan ini harus di bayar dengan sebuah pengorbanan.

11:57 am
“dalam kepompong”

0 Comments:

Post a Comment

<< Home