25 April 2007

Gagal

Saya gagal, sudah lama perasaan ini tidak saya munculkan, dibunuh dengan pedang keoptimisan yang selalu ada bersama saya. Praktisnya saya merasa tak pernah gagal. Tak pernah ada masalah yang tak bisa saya pecahkan. Tak pernah orang melihat saya menangis dan menyesal. Buat saya itu tindakan sia sia.
Pernah saya meraih angka 23 dalam UTS psikologi. Jika Michael Jordan menanggap angka itu sebagai keberuntungan, buat saya itu kartu mati. Nilai sempurna dalam UAS pun tak kuasa meloloskan saya dari kegagalan. Saya sedih tapi tak kemudian menangis dan meratapi nasib. Di kepala saya hanya ada satu pertanyaan, “what next ven?” ya apa yang harus dilakukan sekarang?

Teman saya pernah bertanya, pernahkah saya merasa buntu dan tak tahu harus berbuat apa? Terpuruk dalam kegagalan? Saya hanya diam, buat saya kegagalan itu sukses yang tertunda jadi saya tak pernah melihat sesuatu itu gagal.
Namun jiwa itu bangun dari mati surinya saat saya menjalani tes TOEFL. Sebagai salah satu pra syarat masuk S2, saya harus menjalani tes TOEFL dan karena penuhnya tes di Jakarta, saya harus mengambilnya di Surabaya. Sendiri, pergi ujian dan pulang. Buat saya ga masalah, saya terbiasa sendiri, bahkan menikmati kesendirian saya. Segala yang saya butuhkan pun telah diatur sedemikan rupa, mulai dari antar-jemput, tempat tinggal, lokasi tes sampai acara jalan jalan. Semua terjadwal dengan rapi berkat sahabat sahabat setia saya.
Lalu di mana gagalnya?
4 jam ujian TOEFL, semua menggunakan cara baru, reading, listening, speaking dan writing. 2 minggu lebih saya mempersiapkannya dan entah kenapa saya merasa ga yakin. “I felt like failing” pesan singkat ini saya sebarkan ke orang orang yang peduli. Saya berasa tidak mengerjakannya dengan sempurna. Saya merasa tidak adil kapasitas kemampuan saya dinilai berdasarkan hitungan detik. Saya kecewa karena kalah dengan waktu, kekesalan yang tak mendasar, karena sejak awal, saya tahu aturan mainnya. Semua akan dibatasi dengan waktu.
Seusai tes teman teman saya datang menjemput. Ajak saya makan sekalian reuni. Mereka baik, hal terakhir yang saya inginkan adalah sendiri. Tapi sayangnya mereka tak bisa menemani saya sepanjang malam. Pulang makan, saya kembali ke tempat yang tak saya kenali. Sendiri.
Saya mau menangis, menumpahkan kekesalan saya. Tapi kata kata itu terus datang “what next ven?” saya tahu menangis pun sia sia. Sedih rasanya saat menyadari kalau saya sendiri tak mengijinkan diri ini untuk rapuh. Semua orang yang saya hubungi tak ada yang percaya, sepertinya tak mungkin vennie bisa gagal.
“itu cuman perasaan anda, ga lah pasti lulus kok.”
“Aah..siapa tau cm perasaan lu doang. Tetep semangat yeh.”

Saya jadi mikir sih, emangnya separah tu ya?
Apakah saya benar benar gagal, atau hanya perasaan karena sendiri? Kalau dihitung hitung, tidak semua area saya gagal, reading berjalan biasa, listening mampu saya taklukkan, kekesalan memuncak saat speaking, namun itupun hanya segelintir, satu dua dari total 9 soal dan writing saya tutup dengan sangat manis dan puas. Lalu gagalkah saya?
Mungkin buat saya kegagalan bukanlah masalah angka, tapi masalah mengalahkan diri sendiri. Saya gagal karena tak mampu menguasai diri saat ujian. Melihat hitungan detik, saya bukannya mengejar, malah gelagapan dan tak tahu harus berbuat apa. Akhirnya waktu terbuang percuma. Saya seperti ksatria yang kembali ke istana dengan duka karena hanya mampu melukai naga, tidak mampu membunuhnya. Apakah naga itu akan kembali mengancam ketentraman istana? Saya tak tahu, sama tak tahunya tentang kesuksesan nilai yang saya raih. Saya bisa pasrah dan berharap dengan yang diatas.
Teman saya bilang kadang kala rasa kegagalan itu perlu dibiarkan ada, “dinikmati”, dibiarkan sebentar untuk kemudian dibunuh. Saya akui saya gagal, dan tak ada yang salah dengan rasa kegagalan. Rasa itu justru membuat saya ingat untuk melihat ke atas dan berusaha mengasah pedang saya lebih tajam lagi.
4:13 pm

0 Comments:

Post a Comment

<< Home