26 April 2007

Saat kau sedih

Sedih…sedih…sedih...sedih…sedih...sedih…sedih...
Apa yang kamu lakukan saat hatimu sedih?

Pertama tentunya menyelesaikan sumber yang menyebabkan sedih itu. Tapi bagaimana jika permasalahan itu tidak bisa diselesaikan, bahwa kamu tidak menjadi penentu dari terselesaikannya masalah. Hanya ada kamu dan rasa sedih. Apa yang akan kamu lakukan?

Hari ini saya belajar hal baru tentang menghadapi rasa sedih. Yah tak perlulah bercerita apa yang membuatku sedih. Hanya mengaku kalau aku sedih dan tak tahu harus berbuat apa. Sedih ini terus ada dan tak mau pergi. Kadang aku berhasil mengusirnya sesaat untuk kemudian dia datang lagi.

Sedih...sedih...sedih...sedih...sedih…sedih…

Aku tak bisa begini. Tak mungkin aku kalah dengan rasa sedih. Tapi perasaan ini tak bisa aku pungkiri. Aku bisa terlihat kuat, tapi di dalam aku tahu rasa itu ada. Terutama saat aku sendiri di tengah begitu banyak perubahan yang terjadi secara serentak dalam hidupku.

Sedih...sedih...sedih…sedih…sedih…

Teman temanku datang menghampiri, namun datang turut membawa dukanya. Yah rupanya mereka tak tahu kalau aku juga sedang berduka. Tapi tiba tiba aku melihat secercah harapan, jika aku tak bisa membuat diriku berhenti bersedih, mungkin aku bisa membantu orang lain melupakan kesedihannya. Membuat mereka bahagia dan menjadikan kebahagiaan mereka bagian dari kebahagiaan ku.

Sedih…sedih…sedih…sedih…

Misi pertamaku datang saat sahabatku menelepon. Ia pusing mempersiapkan pernikahannya tahun depan. Dekor, foto, MC, gaun pengantin, bunga dan menikah. Typical miss perfect, aku harus menolongnya sebelum ia berubah menjadi bridezilla. “I’m yours K!” seminggu ini aku memang menyediakan diriku menjadi miliknya. Menjadi konsultan gaun pengantin professional, padahal fashion jauh dari jiwaku. Dia hanya butuh ditemani dan diberi support. Dia tahu keputusan apa yang harus ia ambil.

Keliling keliling kelapa gading – taman anggrek. Puluhan gaun pengantin dicoba tapi tak ada yang mengena di hati. Belum lagi berurusan dengan negosiasi harga. Kok pernikahan jadi industri yang segalanya diukur dengan uang sih? Tapi saya tetap ada menemaninya.

Tadi sahabatku menelepon. Ia telah menemukan gaun impiannya sekaligus berhasil membuahkan kata sepakat dalam masalah harga. Ia bahagia dan saya bahagia untuknya.

Sedih…sedih…sedih…

Hari ini aku mengurusi gaji karyawan, gajiku dan adikku termasuk di dalamnya. Entah terlanjur memberikan ekpektasi yang besar atau merasa tidak dihargai, adikku kecewa dengan gaji pertamanya, terlalu kecil menurutnya. Aku sampai harus membawa amplop itu untuknya. Sampai di mobil aku hanya bisa bilang “jangan dilihat dari jumlahnya, bagaimanapun juga ini hasil kerja kerasmu. Uang yang kamu hasilkan dari usahamu sendiri.”

Aku harap jawabanku mencerahkan rasa dukanya, sampai tiba tiba ia berkata. “Ce, kita makan yuk, aku traktir pakai gaji pertamaku.” Sip, I am yours, akan aku temani sampai rasa sedih itu hilang.

Sedih…sedih…

Aku senang bisa membahagiakan orang, tanpa terasa rasa sedihku semakin mengecil. Aku hanya berharap ia mati dan tidak hidup kembali. Hilang, namun bukan berarti aku lupakan.

Sedih…

0 Comments:

Post a Comment

<< Home