26 April 2007

Cantik atau pintar?

Mana yang kamu pilih, cantik atau pintar?
Pemikiran ini muncul saat kantor saya yang dulu dihebohkan dengan adanya presenter baru, si cantik juara kecantikan terpilih menjadi presenter acara paling gress di televisi. Kami semua kontan menanti – nantikan kedatangan si cantik. Yah sebagai orang dibalik layar, kami punya akses khusus untuk berfoto atau sekedar bercengrama langsung dengannya. Status kami sebagai karyawan juga bisa menaikkan status di depan si cantik. Kami bukanlah penggemar tapi rekan sekerja, jadi tak perlu takut berkomunikasi. Status kita seimbang, sama - sama kerja cari duit. Iseng - iseng saya bertanya pada sahabat saya, laki – laki, yang bertemu dengannya.

“Gimana cantik ya?”
“Yah, iya sih cantik. Tapi kok agak tulalit yah?”
“Masa sih?”
“Iya lah ven, biasanya pasti begitu, kalau dia cantik banget pastinya tidak pintar.”
Huh diam - diam saya menggerutu, berarti pilihan untuk saya hanya dua. Tidak cantik atau tidak pintar.

Kalau boleh jujur, buat saya lebih mudah meyakini diri ini pintar daripada cantik. Jika ada orang yang memuji kepintaran saya, entah menjilat atau mengungkapkan kebenaran, dengan mudah kata terima kasih yang tulus keluar. Sebaliknya kalau bicara kecantikan, entah penghiburan atau ada maunya, biasanya yang keluar justru sebuah pertanyaan balik. “Masa sih?” Pertanyaan ini mengandung sebuah mosi tidak percaya.

Tidak percaya bukan berarti tidak percaya diri. Untuk urusan PD, saya lolos dengan sempurna. Tapi untuk urusan cantik, ini sifatnya relatif, alat ukurnya tak pasti. Itu kenapa saya tidak mudah percaya. Masalah intelektual bisa diukur dari prestasi dan pencapaian yang sudah saya dapatkan. Ajak saya diskusi maka akan saya tumpahkan semua pemikiran analisis ala saya, ini cukup dijadikan alat ukur untuk otak. Kalau cantik? Saya tidak pernah memenangkan kontes kecantikan apapun, mengikutinya pun belum pernah. Lalu alat ukur apa yang dipakai?

Dari dulu saya tomboy, rambut pendek, pernah juga dikeriting biar ga usah sisiran. Suka berantem, naik ke atas genteng dan paling tidak mau nangis di depan orang lain. “Vennie ga boleh nangis, ga boleh nangis.” Ini yang selalu saya katakan pada diri saya. Padahal saya cengeng loh. Urusan kecantikan jauh dari keseharian saya. Kosmetik? Huh jangan tanya deh, kalau ke pesta semua orang bakal komentar. “Kok polos banget sih?” atau yang sobat saya sering bilang “Vennie, cuman kamu yang gw liat belum dandan.” Abis gimana donk, saya ga bisa dan ga suka dandan. Rasanya seperti sedang memakai topeng dan mencoret-coret wajah sendiri. Dulu saat adik perempuan saya masih di Jakarta, saya masih suka pasrah dijadikan kelinci percobaan. “Biar jadi perempuan!” Tapi setelah dia belajar ke Sydney, tak ada lagi sisa- sisa kosmetik di kamar, sudah disortir dan dibuang. “Udah deh, dibawa keluar aja, ga bakal ada yang pake lagi.”

Saya juga perlu belajar menyadari bahwa saya perempuan yang diberi pilihan lebih banyak dalam berpakaian. Bukan hanya celana, tapi juga rok, gaun serta aksesoris centil lainnya. Kalau ada angin nyasar, kadang saya mempergunakan kesempatan itu. Pakai rok, baju renda-renda, warna pink, pakai anting. Orang – orang pastinya langsung pangling, ada yang penarasan “Vennie lagi jatuh cinta yah, feminim banget sih?” atau merasa aneh “kenapa pake anting sih?” yah karena saya perempuan, diberi pilihan banyak yang sayang tuk dilewatkan.

Cantik atau pintar? Kalau saya pintar yang utama, cantik itu bonus. Ini pembenaran diri karena saya tahu saya lemah di bidang kecantikan. Tapi kalau dianalisis lebih lanjut, pintar itu penilai objektif yang tidak bisa dibantah karena didasari dengan bukti - bukti nyata. Sedangkan cantik? Sifatnya subjektif.

“Kamu cantik!”
“Masa sih, cuman karena pake baju pink? Bajunya biasa aja kok, kaos doank.”
“Aku ga bilang baju kamu bagus, aku bilang kamu cantik. Aku lagi ngomongin wajah, bukan baju.”
“Masa sih???”
11:59 pm

0 Comments:

Post a Comment

<< Home