26 April 2007

Orang lain

Kamu memerlukan orang lain?
Tak kan pernah bisa saya menjawab pertanyaan ini. Hati kecil saya mengatakan tidak, meski logika tak memungkiri keberadaan manusia sebagai mahluk sosial yang tak mungkin hidup tanpa orang lain. Saya tak mau tergantung dengan orang lain.

Kondisi ini muncul sejak dini saat duduk di bangku 4 SD. Diawali dengan pertempuran sengit dengan supir antar jemput. Rumah saya di kedoya, sekolah di grogol, akibatnya saya selalu dijemput paling awal dan pulang paling terakhir. Yang masalah kemudian adalah si supir bus tampaknya sentimen dengan saya. Seusai pulang sekolah, saya tak boleh lagi berkeliaran, harus segera masuk bus dan pulang. Huh saya langsung mikir, siapa dia yang mengatur kapan saya mau jajan dan tidak? Seringnya bus hanya mengantar tas sampai di rumah, meninggalkan saya seorang diri yang kemudian harus dijemput orang tua dengan omelan sepanjang jalan. Belum lagi saat saya pulang sore karena basket, saya ikut bus dua kali, siang dan sore. Sepertinya tak ada masalah sampai si supir bus menagih biaya tambahan karena mengantar saya di sore hari.

Padahal setahu saya tak ada biaya tambahan untuk anak lain, hanya saya. Ada apa sih? Saya ngotot ga mau bayar dan tetap ikut di sore hari. Ini hak saya, toh tidak setiap hari, jika yang lain tidak membayar biaya tambahan, harusnya saya mendapatkan perlakuan yang sama. Ujung dari pertengkaran itu saya ditinggal di dalam bus, di pinggir jalan. Si supir kekeh tidak mau mengantar saya pulang dan saya pun tak mau keluar dari bus sampai di antar ke depan rumah. Kita lihat siapa yang kuat, tak masalah jika harus menginap dalam bus. Akhirnya menjelang malam saya pun diantar ke rumah.

Saya kesal bukan kepalang. Merasa tak berdaya, kegiatan saya bergantung pada bus sekolah itu. Di antar jemput harusnya menyenangkan, tapi jika harus diatur atur, hmm tidak lagi mengasyikan. Saya harus pulang ke rumah, tanpa tergantung dengan bus, tanpa harus dijemput orang tua sambil diomel omel. Apa yang harus saya lakukan?

Naik angkutan umum. Ide ini begitu cemerlang hingga saya merasa seperti lang ling lung, ditambah lokasi rumah saya di pinggir jalan raya hingga banyak angkutan. Tapi saat itu saya hanyalah anak usia 10 tahun. Apa saya berani pulang sendiri? Nyatanya perasaan tak mau tergantung pada orang lain jauh melebihi ketakutan saya. Sejak itulah saya berkenalan dengan Metro Mini 92. Angkutan ugal ugalan yang sampai sekarang menjadi transport andalan saya.

Banyak lagi kejadian yang membuat saya jauh lebih mandiri. Saya senang ada orang lain namun saat mereka tidak tersedia untuk saya, yah lebih baik sendiri. Yang jelas saya tak mau tergantung pada orang lain. Saya anak kedua dari empat bersaudara, dan sudah lama saya menggantikan peran anak pertama di keluarga, ini mengakibatkan kemandirian saya jauh bertambah. Belum lagi pekerjaan saya sebagai produser 2 tahun belakangan menjadikan saya menjadi pengambil keputusan. Saya senang hidup sendiri.

Akhir akhir ini kemandirian saya mulai terguncang. Saya tetap menjalankan kehidupan seperti bagaimana seharusnya. Hanya saja saya mulai merasakan kehilangan seseorang. Saya tiba tiba berpikir bahwa alangkah menyenangkannya jika ia hadir saat saya berbelanja atau makan. Ia ada saat saya menjalankan masa bahagia atau terburuk dalam hidup. Meski demikian saya tetap makan, berbelanja dan hidup seperti biasa, tanpa dia disana. Saya hanya merindukannya. Apakah saya mulai membutuhkan orang lain? Membutuhkan orang tersebut di sisi saya? Hmm kembali lagi, sulit menjawab atau mengakuinya.

4:00 pm

0 Comments:

Post a Comment

<< Home