26 April 2007

Orang lain

Kamu memerlukan orang lain?
Tak kan pernah bisa saya menjawab pertanyaan ini. Hati kecil saya mengatakan tidak, meski logika tak memungkiri keberadaan manusia sebagai mahluk sosial yang tak mungkin hidup tanpa orang lain. Saya tak mau tergantung dengan orang lain.

Kondisi ini muncul sejak dini saat duduk di bangku 4 SD. Diawali dengan pertempuran sengit dengan supir antar jemput. Rumah saya di kedoya, sekolah di grogol, akibatnya saya selalu dijemput paling awal dan pulang paling terakhir. Yang masalah kemudian adalah si supir bus tampaknya sentimen dengan saya. Seusai pulang sekolah, saya tak boleh lagi berkeliaran, harus segera masuk bus dan pulang. Huh saya langsung mikir, siapa dia yang mengatur kapan saya mau jajan dan tidak? Seringnya bus hanya mengantar tas sampai di rumah, meninggalkan saya seorang diri yang kemudian harus dijemput orang tua dengan omelan sepanjang jalan. Belum lagi saat saya pulang sore karena basket, saya ikut bus dua kali, siang dan sore. Sepertinya tak ada masalah sampai si supir bus menagih biaya tambahan karena mengantar saya di sore hari.

Padahal setahu saya tak ada biaya tambahan untuk anak lain, hanya saya. Ada apa sih? Saya ngotot ga mau bayar dan tetap ikut di sore hari. Ini hak saya, toh tidak setiap hari, jika yang lain tidak membayar biaya tambahan, harusnya saya mendapatkan perlakuan yang sama. Ujung dari pertengkaran itu saya ditinggal di dalam bus, di pinggir jalan. Si supir kekeh tidak mau mengantar saya pulang dan saya pun tak mau keluar dari bus sampai di antar ke depan rumah. Kita lihat siapa yang kuat, tak masalah jika harus menginap dalam bus. Akhirnya menjelang malam saya pun diantar ke rumah.

Saya kesal bukan kepalang. Merasa tak berdaya, kegiatan saya bergantung pada bus sekolah itu. Di antar jemput harusnya menyenangkan, tapi jika harus diatur atur, hmm tidak lagi mengasyikan. Saya harus pulang ke rumah, tanpa tergantung dengan bus, tanpa harus dijemput orang tua sambil diomel omel. Apa yang harus saya lakukan?

Naik angkutan umum. Ide ini begitu cemerlang hingga saya merasa seperti lang ling lung, ditambah lokasi rumah saya di pinggir jalan raya hingga banyak angkutan. Tapi saat itu saya hanyalah anak usia 10 tahun. Apa saya berani pulang sendiri? Nyatanya perasaan tak mau tergantung pada orang lain jauh melebihi ketakutan saya. Sejak itulah saya berkenalan dengan Metro Mini 92. Angkutan ugal ugalan yang sampai sekarang menjadi transport andalan saya.

Banyak lagi kejadian yang membuat saya jauh lebih mandiri. Saya senang ada orang lain namun saat mereka tidak tersedia untuk saya, yah lebih baik sendiri. Yang jelas saya tak mau tergantung pada orang lain. Saya anak kedua dari empat bersaudara, dan sudah lama saya menggantikan peran anak pertama di keluarga, ini mengakibatkan kemandirian saya jauh bertambah. Belum lagi pekerjaan saya sebagai produser 2 tahun belakangan menjadikan saya menjadi pengambil keputusan. Saya senang hidup sendiri.

Akhir akhir ini kemandirian saya mulai terguncang. Saya tetap menjalankan kehidupan seperti bagaimana seharusnya. Hanya saja saya mulai merasakan kehilangan seseorang. Saya tiba tiba berpikir bahwa alangkah menyenangkannya jika ia hadir saat saya berbelanja atau makan. Ia ada saat saya menjalankan masa bahagia atau terburuk dalam hidup. Meski demikian saya tetap makan, berbelanja dan hidup seperti biasa, tanpa dia disana. Saya hanya merindukannya. Apakah saya mulai membutuhkan orang lain? Membutuhkan orang tersebut di sisi saya? Hmm kembali lagi, sulit menjawab atau mengakuinya.

4:00 pm

Malam ini...

Malam ini aku melihat bulan di angkasa. Kamu tahu apa yang menarik dari bulan? Ia rendah hati, ia tak pernah merasa dirinya penting untuk bumi. Bulan juga jarang dicari keberadaannya, kecuali mungkin menjelang tanggal 15, bulan purnama, saat bulan dalam keadaan prima. Bagi bulan ini ga penting. Ia selalu merasa dirinya alat. Sebuah objek yang kebetulan menerima pantulan sinar matahari dan berada dekat dengan bumi.

Bulan tak pernah terbit dan tenggelam, ia hanya ada kemudian hilang di tengah gemerlapnya sinar matahari. Hadirnya tidak dengan riuh genderang suara menggelora, ia hanya datang dan tersenyum untuk bumi. Tapi yang menakjubkan kamu bisa dengan puas menatapnya. Tak akan ada radiasi ultraviolet yang akan merusak matamu. Kamu selalu bisa menatapnya dan menikmati kesyaduhan yang ditawarkan.

Bulan yang diam juga menyimpan sejuta misteri yang tak mudah ditebak. Saat kecil aku diceritakan bahwa penampangan bulan menggambarkan kelinci yang menghuni tempat itu. Di lain kesempatan aku diperlihatkan pantulan bayangan seorang dewi sedang menari di sana. Sampai sekarang aku tak tahu apa yang mau disampaikan bulan lewat sisi wajah yang terlihat dari bumi.

Bulan selalu merasa sendiri, mungkin karena situasi yang gelap, sunyi dan tenang. Tapi sesungguhnya bulan tak mau sendiri. Ia mau ditemani, itu mengapa ada bintang – bintang. Bulan tak pernah merasa dirinya tersaingi oleh bintang. Semua punya perannya masing masing.

Malam ini aku melihat bulan di angkasa dan aku bersyukur, bulan yang sama menyinari separuh bumi. Bukan hanya aku, tapi separuh manusia di bumi menikmat bulan. Berharap, membawa doa dan mengucapkan selamat malam.

Somewhere out there, beneath the pale moonlight
Someone thinking of me and loving me tonight
Somewhere out there, someone saying a prayer
That we will find one another, in this big somewhere out there
12:36 AM

Hadiah

Tuhan,
Ini aku, bersimpuh di depanmu.
Melepaskan semua ego, pemikiran logika serta topeng
Aku tak tahu lagi harus berbuat apa Tuhan
Kini aku berserah di hadapanMu
Tuhan,
Kadang aku iri melihat orang saling membawa hadiahnya masing - masing
Kotak warna - warni dengan pita menawan
Saat ku lihat kotak milikku, ia begitu lusuh dan rapuh
Tuhan,
Aku kembalikan kepadamu
Sebab aku tak tahu lagi siapa yang mampu membuatnya jadi baru
Usahaku tak lagi membuahkan hasil
Kerja kerasku tak terbayarkan dengan sempurna
Tuhan,
Maukah kau menerimanya
Menyulamnya kembali sama seperti kau menyulam kehidupanku
Membuatnya menjadi baru
Aku janji, tak akan lagi bermain - main dengannya
Tak pernah lagi mengkoyakkan sedikit pembungkusnya tuk mengintip apa didalamnya
Akan ku jaga baik baik Tuhan
Dan kusimpan sampai waktunya tiba
Ini hadiahku
1:01 pm

Cantik atau pintar?

Mana yang kamu pilih, cantik atau pintar?
Pemikiran ini muncul saat kantor saya yang dulu dihebohkan dengan adanya presenter baru, si cantik juara kecantikan terpilih menjadi presenter acara paling gress di televisi. Kami semua kontan menanti – nantikan kedatangan si cantik. Yah sebagai orang dibalik layar, kami punya akses khusus untuk berfoto atau sekedar bercengrama langsung dengannya. Status kami sebagai karyawan juga bisa menaikkan status di depan si cantik. Kami bukanlah penggemar tapi rekan sekerja, jadi tak perlu takut berkomunikasi. Status kita seimbang, sama - sama kerja cari duit. Iseng - iseng saya bertanya pada sahabat saya, laki – laki, yang bertemu dengannya.

“Gimana cantik ya?”
“Yah, iya sih cantik. Tapi kok agak tulalit yah?”
“Masa sih?”
“Iya lah ven, biasanya pasti begitu, kalau dia cantik banget pastinya tidak pintar.”
Huh diam - diam saya menggerutu, berarti pilihan untuk saya hanya dua. Tidak cantik atau tidak pintar.

Kalau boleh jujur, buat saya lebih mudah meyakini diri ini pintar daripada cantik. Jika ada orang yang memuji kepintaran saya, entah menjilat atau mengungkapkan kebenaran, dengan mudah kata terima kasih yang tulus keluar. Sebaliknya kalau bicara kecantikan, entah penghiburan atau ada maunya, biasanya yang keluar justru sebuah pertanyaan balik. “Masa sih?” Pertanyaan ini mengandung sebuah mosi tidak percaya.

Tidak percaya bukan berarti tidak percaya diri. Untuk urusan PD, saya lolos dengan sempurna. Tapi untuk urusan cantik, ini sifatnya relatif, alat ukurnya tak pasti. Itu kenapa saya tidak mudah percaya. Masalah intelektual bisa diukur dari prestasi dan pencapaian yang sudah saya dapatkan. Ajak saya diskusi maka akan saya tumpahkan semua pemikiran analisis ala saya, ini cukup dijadikan alat ukur untuk otak. Kalau cantik? Saya tidak pernah memenangkan kontes kecantikan apapun, mengikutinya pun belum pernah. Lalu alat ukur apa yang dipakai?

Dari dulu saya tomboy, rambut pendek, pernah juga dikeriting biar ga usah sisiran. Suka berantem, naik ke atas genteng dan paling tidak mau nangis di depan orang lain. “Vennie ga boleh nangis, ga boleh nangis.” Ini yang selalu saya katakan pada diri saya. Padahal saya cengeng loh. Urusan kecantikan jauh dari keseharian saya. Kosmetik? Huh jangan tanya deh, kalau ke pesta semua orang bakal komentar. “Kok polos banget sih?” atau yang sobat saya sering bilang “Vennie, cuman kamu yang gw liat belum dandan.” Abis gimana donk, saya ga bisa dan ga suka dandan. Rasanya seperti sedang memakai topeng dan mencoret-coret wajah sendiri. Dulu saat adik perempuan saya masih di Jakarta, saya masih suka pasrah dijadikan kelinci percobaan. “Biar jadi perempuan!” Tapi setelah dia belajar ke Sydney, tak ada lagi sisa- sisa kosmetik di kamar, sudah disortir dan dibuang. “Udah deh, dibawa keluar aja, ga bakal ada yang pake lagi.”

Saya juga perlu belajar menyadari bahwa saya perempuan yang diberi pilihan lebih banyak dalam berpakaian. Bukan hanya celana, tapi juga rok, gaun serta aksesoris centil lainnya. Kalau ada angin nyasar, kadang saya mempergunakan kesempatan itu. Pakai rok, baju renda-renda, warna pink, pakai anting. Orang – orang pastinya langsung pangling, ada yang penarasan “Vennie lagi jatuh cinta yah, feminim banget sih?” atau merasa aneh “kenapa pake anting sih?” yah karena saya perempuan, diberi pilihan banyak yang sayang tuk dilewatkan.

Cantik atau pintar? Kalau saya pintar yang utama, cantik itu bonus. Ini pembenaran diri karena saya tahu saya lemah di bidang kecantikan. Tapi kalau dianalisis lebih lanjut, pintar itu penilai objektif yang tidak bisa dibantah karena didasari dengan bukti - bukti nyata. Sedangkan cantik? Sifatnya subjektif.

“Kamu cantik!”
“Masa sih, cuman karena pake baju pink? Bajunya biasa aja kok, kaos doank.”
“Aku ga bilang baju kamu bagus, aku bilang kamu cantik. Aku lagi ngomongin wajah, bukan baju.”
“Masa sih???”
11:59 pm

Pulang

“Hari ini pulang ke rumah baru ya.”
Akhirnya hari itu datang juga. Setelah belakangan terakhir aku komplain tentang kamarku yang kosong, tidurku yang seperti pengungsi.
“Aku ga punya kamar, semuanya kosong.”
Malam ini aku akan tidur di kamar yang tak pernah aku tempati sebelumnya dan belajar memanggilnya kamarku.
Pulang, kata ini begitu sederhana, tapi begitu penting karena hanya satu yang bisa kau sebut rumah. Tempat yang kau tuju untuk pulang.

Pulang adalah tempat dimana keluargamu berada
Aceh, Medan, Padang, Bangka, Lampung, Palembang, keliling Jawa, Palu, Makassar, Toraja, Bali, Lombok, Kupang, Atambua, Soe. Ini sebagian Indonesia yang telah aku jelajahi. Belum lagi Singapura, Malaysia, Thailand, Australia, Negara tetangga yang pernah aku singahi. Praktisnya pergi jauh telah menjadi bagian dari hidupku. Aku bisa kasih saran banyak tentang bagaimana caranya packing. Apa yang dibutuhkan untuk perjalanan satu minggu, 3 bulan, bahkan 6 bulan. Aku terbiasa. Mulai dari satu tas yang muat masuk cabin sampai satu koper pun, semua bisa dipersiapkan. Aku selalu siap untuk pergi kapan saja.

Meski demikan rumah tetap tempat yang penting buatku. Tempat kos, posko, tenda sampai hotel berbintang tidak bisa menandingi kenyamanan sebuah rumah. Aku selalu kangen rumah. Biasanya kalau stress aku selalu ingin pulang, kembali ke keluargaku, ke ranjangku, ke kamarku.

Permasalahan yang membuatku stress tidak pernah dibahas di sana. Aku hanya pulang, kembali ke perinduanku dan tidur. Kadang menangis. Rumah memberikan pelukan hangat yang menguatkan. Aku selalu siap menghadapi apapun saat keesokan harinya.

Pulang adalah tempat dimana hatimu berada
Australia mau ga mau sudah menjadi bagian dari hidup saya. Cc, kk dan dd saya menetap di sana, belajar dan bekerja. Entah mana yang mereka panggil rumah, Indonesia atau Australia. Sebagian sobat karib saya juga tersangkut di negeri kanguru tersebut, entah untuk sesaat atau jatuh cinta sampai mati.

Saat mereka datang ke Indonesia, saya yang paling semangat jadi pemandu keliling. Saya sanggupi semua permintaan mereka. Senang bisa menemani mereka berkeliling, memperlihatkan kalau Jakarta lebih dari sekedar macet, kriminal dan polusi. Namun saat waktu itu tiba, saya tahu hati mereka tidak lagi di sini. “aku pulang dulu ya ven.”

Pulang adalah tempat dimana orang yang kamu sayangi berada

Pulang adalah tempat dimana orang yang kamu sayangi menunggu

Jam menunjukkan pukul 9:23 pm, aku ga bisa menunda lagi. Aku harus pulang ke rumahku yang baru, rumah yang tidak aku kenali. Aku tak tahu apakah ia bisa memberikan kehangatan pelukan seperti yang biasa aku alami di tempat yang lama. Bagaimana jika aku merasa asing di rumahku sendiri, hingga tak ada lagi tempat pelarian dan persembunyianku?

Pulang.

Aku belajar menyadari kalau pulang bukanlah ditujukan untuk sebuah tempat. Bukan fisik tapi hubungan manusia. Bukan rumah, tapi keluarga. Bukan kedoya raya no.4, tapi keluarga Arief.
Aku harus pulang sekarang. Keluargaku menungguku.

Aku harap kamu masih tahu jalan pulang…
9:23 pm

Saat kau sedih

Sedih…sedih…sedih...sedih…sedih...sedih…sedih...
Apa yang kamu lakukan saat hatimu sedih?

Pertama tentunya menyelesaikan sumber yang menyebabkan sedih itu. Tapi bagaimana jika permasalahan itu tidak bisa diselesaikan, bahwa kamu tidak menjadi penentu dari terselesaikannya masalah. Hanya ada kamu dan rasa sedih. Apa yang akan kamu lakukan?

Hari ini saya belajar hal baru tentang menghadapi rasa sedih. Yah tak perlulah bercerita apa yang membuatku sedih. Hanya mengaku kalau aku sedih dan tak tahu harus berbuat apa. Sedih ini terus ada dan tak mau pergi. Kadang aku berhasil mengusirnya sesaat untuk kemudian dia datang lagi.

Sedih...sedih...sedih...sedih...sedih…sedih…

Aku tak bisa begini. Tak mungkin aku kalah dengan rasa sedih. Tapi perasaan ini tak bisa aku pungkiri. Aku bisa terlihat kuat, tapi di dalam aku tahu rasa itu ada. Terutama saat aku sendiri di tengah begitu banyak perubahan yang terjadi secara serentak dalam hidupku.

Sedih...sedih...sedih…sedih…sedih…

Teman temanku datang menghampiri, namun datang turut membawa dukanya. Yah rupanya mereka tak tahu kalau aku juga sedang berduka. Tapi tiba tiba aku melihat secercah harapan, jika aku tak bisa membuat diriku berhenti bersedih, mungkin aku bisa membantu orang lain melupakan kesedihannya. Membuat mereka bahagia dan menjadikan kebahagiaan mereka bagian dari kebahagiaan ku.

Sedih…sedih…sedih…sedih…

Misi pertamaku datang saat sahabatku menelepon. Ia pusing mempersiapkan pernikahannya tahun depan. Dekor, foto, MC, gaun pengantin, bunga dan menikah. Typical miss perfect, aku harus menolongnya sebelum ia berubah menjadi bridezilla. “I’m yours K!” seminggu ini aku memang menyediakan diriku menjadi miliknya. Menjadi konsultan gaun pengantin professional, padahal fashion jauh dari jiwaku. Dia hanya butuh ditemani dan diberi support. Dia tahu keputusan apa yang harus ia ambil.

Keliling keliling kelapa gading – taman anggrek. Puluhan gaun pengantin dicoba tapi tak ada yang mengena di hati. Belum lagi berurusan dengan negosiasi harga. Kok pernikahan jadi industri yang segalanya diukur dengan uang sih? Tapi saya tetap ada menemaninya.

Tadi sahabatku menelepon. Ia telah menemukan gaun impiannya sekaligus berhasil membuahkan kata sepakat dalam masalah harga. Ia bahagia dan saya bahagia untuknya.

Sedih…sedih…sedih…

Hari ini aku mengurusi gaji karyawan, gajiku dan adikku termasuk di dalamnya. Entah terlanjur memberikan ekpektasi yang besar atau merasa tidak dihargai, adikku kecewa dengan gaji pertamanya, terlalu kecil menurutnya. Aku sampai harus membawa amplop itu untuknya. Sampai di mobil aku hanya bisa bilang “jangan dilihat dari jumlahnya, bagaimanapun juga ini hasil kerja kerasmu. Uang yang kamu hasilkan dari usahamu sendiri.”

Aku harap jawabanku mencerahkan rasa dukanya, sampai tiba tiba ia berkata. “Ce, kita makan yuk, aku traktir pakai gaji pertamaku.” Sip, I am yours, akan aku temani sampai rasa sedih itu hilang.

Sedih…sedih…

Aku senang bisa membahagiakan orang, tanpa terasa rasa sedihku semakin mengecil. Aku hanya berharap ia mati dan tidak hidup kembali. Hilang, namun bukan berarti aku lupakan.

Sedih…

Get Krispinite (part two)

“eh krispy kreme bukanya kapan? Kayaknya gw harus ikutan hunting demi adeku, km inget ga pastinya?”
Teman saya menyesal memberikan informasi tentang Krispy Kreme di Senayan City. Menurutnya saya gila.
“loe yakin mau nginap? Emang dapet berapa sih? Ga worth it banget! Gw beliin aja deh!”
“Ini bukan masalah materi, tapi perjuangannya. Bukan hadiah tapi prosesnya.”
“Iya tapi tetep aja, ga worth it.”

Si keras kepala tetap saja membandel. Pulang rumah saya langsung mandi dan bersiap. Buku GRE, Ipod, PDA plus charger, termos isi kopi, air putih, jurnal, agenda, kain bali. Yah namanya juga persiapan, saya akan sendirian di sana, segala hal mungkin terjadi. Yang bisa dilakukan hanyalah bersiap untuk segalanya.

Teman saya bukan satu - satu nya orang yang menentang. Mama juga geleng - geleng kepala. Hah mo nginep di mall? Hanya untuk antri donat? Tokonya buka jam 10 pagi dan kamu sudah siap dari jam 8 malam? Gila, bener - bener gila. Sebenernya buat apa sih?

Buat adik saya. Sesimple itu, saya juga ajak adik ikut serta, dia mau banget hanya mempertanyakan bagaimana dengan sekolah. Dia harus sekolah, bolos hanya karena Krispy Kreme ga masuk akal banget. Sedangkan saya kan sedang “nganggur” dan apalah artinya begadang satu malam, itu pekerjaan saya sehari hari. “Ok de, I’ll do it for you.”

“Baik banget sih, ade loe juga ga segitunya kali. Kayaknya loe jadi lebih heboh dari dia.”
“Gw mau memberikan yang terbaik, itu aja. Beli sesuatu gampang, tapi kalo gw berjuang untuk itu pasti jadinya lebih spesial”

Sesampainya di Senayan City, ternyata saya ga sendiri. Sudah ada 7 orang lain yang mengantri. Saya jadi orang ke 8 yang artinya hanya akan mendapatkan 5 lusin donat.

“loe yakin tetep mo ngantri? Sekarang lebih ga worth it lagi, loe ga akan mendapatkan 52 lusin donat gratis. Cuman 5 lusin, yakin tetep mo nginep?”

Saya ga mungkin mundur karena sudah sampai di lokasi. Saya pun menginap dan terbukti malam tersebut menjadi malam yang paling “worth it” untuk ditunggu.

Lima penunggu pertama datang berkelompok, tampaknya dari satu kampus. Siap dengan alas tikar, notebook, Ipod, makanan segambreng, dan berbotol - botol air mineral. Seperti sedang piknik, hanya saja bukan rumput hijau jadi alas, tapi lantai marmer. Setelah bertukar informasi saya jadi tahu mereka menunggu dari jam 11 siang, saling bergilir menjaga posisi. Niat banget yah, padahal sebagian dari mereka mengaku tidak pernah mencoba Krispy Kreme, sebagian lagi tidak terlalu suka dengan donat tersebut. Saya jadi rela mereka menang, mereka layak untuk itu. Dikira - kira mereka pasti mahasiswa ekonomi, atau fisip, anak sosial seperti saya. Tapi di luar dugaan, mereka calon – calon dokter dari Ukrida, wow benar - benar ga nyangka, mereka bolos 2 hari hanya untuk antri donat, ternyata dokter bisa gila juga yah.

Dua orang selanjutnya mendapatkan perintah langsung dari majikan. Huh pas dengar ini saya merasa dicurangi. Enak sekali anak majikan itu, begitu mudahnya menyuruh orang menunggu antrian donat. Tak perlu cape atau usaha, cukup tenang - tenang di rumah dan mendapatkan hadiah. Sementara dua anak buah itu tak punya pilihan, mereka menunggu dari jam 1 siang, capai lelah tanpa sedikit pun berkesempatan menikmati kerja kerasnya. Yah akhirnya uang yang berbicara.

Gelombang ketiga, si nomor 8 itu saya. Hihi my lucky number 8. Apa saja yang saya lakukan selama semalaman itu? Yang jelas saya tidak tidur sama sekali, sampai ke 7 orang lainnya bertanya - tanya. “Mba, kuat yah ga tidur!” yah ini mah keseharian saya. Malam memang lebih ramah buat saya.

Masa kritis terjadi saat usai tengah malam, jam 2-3 pagi. Yang lain sudah terkapar tidur. Saya kembali sendiri, di tempat asing, keadaan yang kadang membuat saya lebih jujur pada diri sendiri, jujur pada perasaan, jadi banyak belajar tentang hidup dan masa depan.

Pagi – pagi kami bangun dengan lega, menyadari penantian akan segera berakhir. Dan saya kembali beruntung, dengan bantuan seorang malaikat saya berhasil menggandakan urutan. No 8 dan 9 menjadi milik saya dengan total 10 lusin donat gratis, persediaan untuk 2 bulan dalam 1 tahun. Jam 9 pagi barisan mulai memanjang. Saya merasa menjadi orang paling beruntung seluruh dunia, karena di belakang saya ada puluhan orang yang menginginkan posisi ini.

Perjuangan ini membuahkan hasil 2 ticket of the year, 2 limited Krispy Kreme Senayan City T-Shirt, 2 topi kertas Krispy Kreme dan kepuasan tak ternilai. 20 September 2006, hari itu benar - benar serasa mimpi. Rasanya menyenangkan sekali, dengan ini setiap kali adik saya menukarkan kupon dengan donat, ia akan mengingat saya. Ada 10 kali kesempatan ia mengingat saya dan saya senang bisa membahagiakan dia.
(the end)

Get Krispinite (part one)

Krispy Kreme in town. Akhirnya donat yang menjadi pembicaraan hangat di Sydney Australia datang juga ke kota saya. Saya bukan pengagum beratnya, tapi adik saya tergila gila dengan roti bolong itu. Saya pun akhirnya ikutan repot. Tiap kali pulang Jakarta saya harus menenteng sekurangnya 2 lusin donat. Tak peduli berapa banyak barang yang sudah saya bawa. 2 lusin Krispy Kreme itu wajib hukumnya.

Donat itu terbang dari Sydney – Jakarta, mendapat tempat special di kabin pesawat, dan sesampainya di bandara langsung disambut hangat oleh adik saya. Tidak ada yang boleh memakan donat itu kecuali dia, kita semua termasuk saya yang susah payah membawanya harus membujuk dan minta ijin untuk mencicipi donat. Seringnya sih kami tidak dapat ijin. 24 donat sudah dijadwal untuk masuk ke perut adik saya setiap hari, satu donat satu hari. Dengan memberikannya kepada orang lain jelas mengurangi jatah kenikmatan yang dia miliki.

Terkadang saya heran, donat itu sudah melewati perjalanan 8 jam, jelas jelas tidak lagi “fresh from the oven” dan rasanya juga sangat manis. Tak tahu kenikmatan apa yang adik saya rasakan. Beberapa kali saya berusaha menghibur dia dengan memberikan donat merek lain, mulai dari dunkin donuts, JCo, donat merek baru keluaran Tamani Café, tapi gagal, bolehlah untuk penghiburan tapi tetap saja buat dia Krispy Kreme yang terbaik.

Dengan latar belakang cerita ini mungkin anda jadi paham mengapa saya begitu semangat saat tahu Kripy Kreme akan membuka gerainya di Jakarta. Ini kabar yang menakjubkan, ini berarti adik saya bisa menikmati donat favoritnya fresh from the oven, tidak ada lagi 8 jam perjalanan, tidak ada lagi rayuan bagi orang yang akan pulang ke Indonesia untuk membawakan Krispy Kreme dari Sydney.

Kejutan pun berlanjut, saya beruntung mendapatkan sample Krispy Kreme dan tidak tanggung tanggung, saya mendapatkan sample 2 lusin sekaligus hehehe tenang saya tidak merampok. Kebetulan Krispy Kreme membagikan sample 1 lusin untuk setiap orang. Saya hanya meminta tambahan 1 lagi. Begitu Krispy Kreme di tangan, saya langsung tidak sabar pulang ke rumah dan memberikannya pada dede. Sekaligus menceritakan kalau Krispy Kreme memberikan supply donat setahun untuk pengunjung pertama di gerainya. “Ayo de, kita nginap. Demi Krispy Kreme”

Pembukaan gerai pertama di Pondok Indah Mall 2 dilakukan satu hari setelah ulang tahun saya. Dengan berat hati saya tidak bisa hadir, saya sudah keburu bolos saat ultah, tak mungkin saya bolos dua hari berturut – turut. Saya dan adik saya kecewa dan sedih banget, seperti kesempatan emas dibiarkan berlalu begitu saja. Untungnya selalu ada kesempatan kedua. Gerai kedua di Senayan City memakai system promosi yang sama, saya berniat mendapatkan donat gratis dan kali ini harus berhasil.

(to be continued...)
8:25 pm

25 April 2007

Big is me

Jika sebagian besar manusia di bumi menjalani masa 9 bulan di rahim ibunda, saya mendapatkan ekstra satu bulan. Itupun setelah diancam dokter, jika dalam seminggu saya tidak keluar juga, maka akan diambil langkah sedot paksa. Dan hari minggu saya lahir. Badan saya terlihat besar karena gede di perut. Kulit ari - ari saya mengkerut, si bayi raksasa yang berkeriput. Untungnya setelah besar keriput itu hilang, saya jadi bayi montok yang lucu.

Di keluarga besar, selain saya ada 3 bayi lain yang juga lahir di tahun tersebut. Saya lahir belakangan tapi punya badan paling besar. Dari dulu saya selalu dibilang si bongsor. Persepsi itu begitu kentalnya tertanam sampai saya selalu merasa tubuh saya besar. Bukan gendut, saya hanya memiliki struktur tulang yang besar seperti laki - laki.

Dari tubuh yang besar tersimpan pula tenaga yang besar. Ini yang selalu saya yakini. Makanya untuk urusan angkat mengangkat, segala tentang fisik saya selalu ingin lebih. Urusan angkat belanjaan misalnya. Jika yang lain hanya menenteng 2 kantong belanjaan, satu di kanan dan satu di kiri, saya bisa mengangkat 4-5 sekaligus. Yah berat sih, tapi saya merasa punya kekuatan lebih untuk mengangkat itu. Jadinya semua orang tidak pernah segan meminta bantuan fisik pada saya dan biasanya selalu saya sanggupi.

Saat jalan - jalan di Singapura, saya menenteng sebagian besar belanjaan. Yang lain capai berjalan, tapi saya santai saja, jalan dengan langkah gontai dengan belanjaan di kanan dan kiri. Saat mengunjungi Australia, saya membawa 33 kg bagasi, itu belum termasuk hand carry berupa tas ransel, 2 lusin donat krispy kreme, tentengan di kanan kiri dan tas pinggang. Semuanya saya bawa sendiri. Hmm perempuan super.

Belakangan ini dua kali saya ditolak menjadi pengapit pengantin perempuan karena badan saya yang besar. Hahaha ini lucu, tadinya sang pengantin sendiri yang meminta saya untuk mengambil posisi itu, saya tentunya merasa terhormat, tapi tiba - tiba pihak keluarga tidak setuju karena saya akan tampak lebih mendominasi dengan tubuh yang besar. “Ntar pengantin perempuannya kebanting” itu kata mereka. Ah sudah biasa jawab saya.

Saya sadar sepenuhnya dengan tubuh saya yang besar. Kalau ada barisan, saya otomatis berdiri di belakang. Tahu dirilah, mungkin saya tidak akan berdiri di paling belakang karena saya tidak terlalu tinggi, tapi setidaknya saya pasti mendekati urutan belakang. Waktu di Aceh saya sering berpergian dengan pesawat kecil dimana berat badan jadi patokan. Yang ringan duduk di belakang, semakin berat semakin di depan. Saya otomatis langsung duduk di tengah. Saya pasti lebih berat dari perempuan biasanya, tapi tetap tidak menandingi laki - laki. Dan saya benar kok, duduk di tengah posisi yang tepat buat saya.

Akhir - akhir ini seorang teman meyakinkan saya kalau saya tidak besar, tubuh saya proporsional dan biasa. Haha saya hanya bisa tertawa dengan pendapatnya. Sepertinya sulit mengubah persepsi tubuh besar dari pikiran saya. Saya tidak percaya, buat saya dia hanya menghibur. Tapi dia malah menantang bisa mengangkat tubuh saya. Aduh apalagi itu, kamu kecil mana mungkin bisa, saya begitu besarnya. Lucu ya bagaimana persepsi saya berperan.

Saya selalu merasa besar saat bersanding dengan laki - laki (kecuali jika laki - laki tersebut jelas - jelas lebih besar dari saya) Saya merasa aneh, malah ekstrimnya saya merasa seperti raksasa, begitu besarnya. Meski bukti otentik memperlihatkan dia lebih tinggi dari saya, lebih besar dari saya, tetap saja pikiran “big is me” menghantui.

Persepsi, ini memang permainan pikiran.
1:32 pm

Trailers Spoilers

Ngakunya pembuat film, harusnya punya koleksi film yang banyak juga. Biasa…… untuk referensi. Sebagai pemula kita harus tidak malu untuk belajar, menonton berbagai macam film salah satunya. Sayang badan sensor Indonesia masih begitu ketat. Tanda tangan Titie Said harus tertera di setiap awal pertunjukan. Sampai sekarang saya tidak tahu bagaimana penilaian itu diberikan dan kebanyakan saya tidak setuju dengannya. Apa hubungannya pusar Fauzi Baadilah di poster film 9 Naga dengan pornografi? Apakah hubungan seks segitu nistanya hingga harus benar - benar dihapus meski ia bercerita?

Itulah mengapa saya beralih ke DVD. Yup saya pendukung DVD bajakan. Selagi badan sensor masih begitu ketatnya, ditambah pajak yang mencekik, DVD bajakan menjadi alat belajar saya.

Tapi bukan itu yang mau saya bicarakan disini, tapi tentang trailers. Bagi yang tidak familiar, trailers adalah cuplikan film yang telah atau akan beredar. Biasanya muncul sebelum pertunjukan bioskop, di pilihan bonus pada DVD daN bisa juga dilihat di www.apple.com/trailers. Ratusan trailers tersedia dan diupdate setiap saat. Mulai dari film Hollywood sampai film eropa. Beberapa film asia kelas festival juga mendapat kesempatan untuk berpromosi dalam website itu.
Trailers memang telah menjadi media efektif untuk berpromosi. Saya selalu kagum dengan editor yang bertugas membuat trailers. Kagum melihat bagaimana film berdurasi 1-3 jam dirangkum ke dalam 1-2 menit. Saya sebagai penikmat film cenderung memberikan penilaian berdasarkan trailers. Dari ratusan film yang beredar, tentunya tidak semua bisa saya tonton. Harus ada preferensi yang dibuat dan trailers menjadi alat ukur andalan saya.
Dari trailers saya mulai mengkategorikan film. Ada film yang tidak akan pernah saya tonton. Ada juga kategori film biasa, menontonnya akan menambah referensi, tidak menontonnya juga tidak membuat saya rugi. Dan terakhir ada kategori film yang “saya banget” rasanya film tersebut terlalu special untuk dilewatkan begitu saja. Dan menontonnya saja tidak cukup. Saya ingin memilikinya, untuk kemudian menontonnya berulang ulang dan menikmati setiap adegannya. Ini kategori collectible items.
Pencarian collectible items punya greget tersendiri. Kategori film ini jarang ditemukan, kalaupun ada, rasanya tipis ia akan diputar di bioskop. Tapi tidak kemudian saya menyerah. Saya punya daftar khusus untuk film film ini dan bertekad untuk memilikinya. Beberapa strategi pun disiapkan, karena kebanyakan trailers mempromosikan film film yang akan beredar, menunggu tentunya menjadi modal awal. Menunggu akan kemungkinan film itu diputar di Indonesia. Kalaupun tidak saya harus rajin melihat jadwal festival film yang tersebar di Jakarta dan berharap film itu diputar di sana, kemungkinannya tetap terbuka.
Tapi seperti yang dibilang, menontonnya saja tidak membuat saya puas. Akhirnya DVD bajakan menjadi tempat pelarian saya. Sekurangnya sebulan sekali saya berkunjung ke mangga dua dan memborong DVD disana. 100 – 200 ribu habis dalam sekejab, itu berarti sekurangnya saya membeli 20 – 40 judul film. Bermodalkan informasi yang saya dapatkan dari trailers, saya tak memerlukan waktu lama untuk menentukan baik buruknya film, sekali melihat covernya saja saya sudah tahu. DVD yang saya beli merupakan kategori pilihan dari ratusan judul yang tersedia.
Kadang kadang penjual menyodorkan beberapa film sambil berpromosi
“mba, ini bagus loh.”
“uda nonton ini blon, ini lagi diputer di bioskop sekarang, bagus banget”
sayangnya saya punya penilaian tersendiri, tentunya dari trailers tersebut. Jarang saya kecewa dengan penilaian yang ditawarkan trailers. Lebih sering malah saya keliling mangga dua untuk mencari film film collectible yang saya ingini, jumlahnya benar benar terbatas. Dari satu kios ke kios lainnya, jemari saya terlatih mensortir ratusan judul yang ada. Hihi ngotot banget ya, tapi percayalah mendapatkannya mendatangkan kepuasan tersendiri. Saya bukan hanya bisa menikmatinya berulang ulang, tapi juga mempromosikannya, menceritakannya kepada semua orang, meminjamkannya kepada teman agar bisa dinikmati bersama. Hanya saja awas, film itu harus kembali ke tangan saya, karena saya berjuang untuk mendapatkannya.
4:51 pm

Matahari dan Bulan

Matahari dan bulan, apakah mereka bersaing?
Saling menguasai di dua masa yang berbeda?

Matahari yang bersinar tanpa lelah, menebar pesona, mewarnai keceriaan dan kesibukan kota. Ramai, sibuk, panas, sorak sorai, itu nuansa yang selalu di milikinya. Kalau dianalogikan dengan manusia, matahari mungkin seorang yang sangat sanguinis, yang meletup letup, si badut dalam pesta, yang mendatangkan keramaian dimana pun dia berada.

Matahari pastinya selalu merasa penting, ia yang berkuasa. Bagaimana tidak, kehadirannya mempengaruhi efektifitas kegiatan manusia. Dimana ada matahari, disitulah sebagian besar manusia aktif bekerja dan berkreasi. Tak cukup baginya hanya untuk ada. Ia tidak puas hanya memberi cahaya di bumi, ia tahu potensi yang dimilikinya jauh dari itu. Ia mau turut terlibat dalam proses fotosintesis, membantu pertumbuhan tanaman, mensupply vitamin D kepada manusia dan memberikan kehidupan kepada semua mahluk hidup. Matahari tahu ia harus ada untuk membawa kebaikan untuk bumi.


Karena berkuasa, kadang ia pun egois. Merasa hanya dirinyalah yang penting. Ia merasa tak memerlukan bantuan, tak menyadari ia tak sendiri, bahwa banyak benda – benda lain di langit.
Lain halnya dengan bulan, benda langit yang tak pernah terlihat penting. Namun pengakuan bukan suatu hal yang berarti untuknya. Ia ada dan itu cukup. Tenang, sunyi, damai. Bulan hadir tuk mengingatkan mahluk hidup bahwa masih ada hari esok. Bahwa ada yang lebih berarti dari sekedar bekerja dan sibuk beraktivitas. Kedamaian dan ketenangan itu jauh lebih bermakna.

Saya selalu suka dengan sore hari, suasana yang tidak terlalu panas, tidak juga terlalu dingin. Saat matahari mulai meredup dan bulan mulai menampakkan diri. Ini momen special, dua penguasa langit saling bertemu. Momennya sangat singkat, saat matahari bertemu bulan. Saat matahari sadar bahwa ia bukan satu satunya benda di langit. Saat bulan hadir dan berkata “matahari, tidurlah, sudah saatnya kamu istirahat, biar sekarang aku yang menggantikan peranmu menjaga bumi.” Saat matahari tidur dan menyerahkan bumi kepada bulan.


Mungkin matahari merasa tersaingi dengan bulan, namun jika malam ini kamu hanya melihat bulan di langit, sadarilah bahwa matahari tahu ia memerlukan bulan untuk menjaga bumi.
6:34pm

sang penulis mimpi (cross posting)

Perjalanan ke Surabaya mempertemukan saya kepada banyak malaikat di bumi. Mereka menjadi orang yang peduli dan begitu mendukung kehidupan saya. Salah satunya adalah rekan seperjuangan saya. Joseph Bagus T.W. Penggalan tulisan ini saya ambil dari blognya http://josephbagus.blogs.friendster.com Jika anda membaca tulisan ini, pasti anda setuju bahwa ia adalah seorang malaikat dalam kehidupan saya.

Bertemu penulis mimpi….
Pukul 20.09, saya sudah berada di Galaxy Mall. Bersiap-siap bertemu dengan "Sang Penulis Mimpi". Datang jauh dari Jakarta, dalam dua hari dan dua malam kesempatannya berada di kota Surabaya, Sang Putri yang namanya mirip dengan nama orang yang saya sayangi ini, menyempatkan diri bertemu dengan sahabat-sahabatnya di kota Surabaya.

Hmm.. ternyata Sang penulis mimpi tidak jauh berbeda dengan dua tahun lalu saya bertemu dengannya. Dua tahun lalu dirinya sempat menghadiri ulang tahun saya yang ke 22 .. dengan membawa kado sebuah buku yang telah "berpengaruh" buat kehidupan saya. Hari ini ia datang dengan wajah yang sama, dengan keramaian yang sama, dengan "kepolosan" yang sama, dengan "kecantikan" yang sama.. namun dalam bungkus yang berbeda. Dalam bungkus kedewasaan.

Dua tahun lalu ia datang dengan kaos hitam, dan celana jeans, dan sebuah tas ransel yang bersematkan pin berbau feminisme ;) seorang calon jurnalis muda. Dua tahun kemudian, ia kembali datang ke Surabaya, dengan baju yang berbeda -- of course!-- sepensiunnya ia dari sebuah Lembaga Sosial berskala nasional, sepulangnya ia dari terbang ke negeri-negeri yang jauh... yang saya pun belum pernah menjajakinya. Ia baru saja pulang dari menjadi seorang jurnalis sejati.. bukannya calon lagi. WARTAWAN. Setidaknya begitulah yang disebutkan dari lembaran KTP Nangroe Aceh Darussalam dan SIM NAD yang ia miliki..

Seorang penulis mimpi, seorang yang menempatkan dirinya menjadi salah satu inspirator kehidupan. Seekor burung yang telah terbang melayang ke banyak negeri dan kini siap untuk kembali duduk diam dan belajar kembali mengenai banyak hal. Melanjutkan sekolah untuk menjadi "sesuatu yang lebih baik". Seorang yang ingin terus menghidupi mimpi, walaupun ia tahu, realita belum tentu berpihak pada mimpi.

Saya hari ini berdoa khusus buat dirinya, Sang Penulis Mimpi yang tengah bermimpi untuk melangkah ke dunia yang baru. Dunia statis, tanpa angin angkasa yang menderu-deru, dan kini berbatas sangkar. Dunia yang kiranya tetap ia pilih sendiri dan bukannya "dipilihkan" oleh tangan-tangan di luar mimpinya. Tangan-tangan dunia nyata.

Kiranya engkau tetap menjadi "Sang penulis mimpi" yang tidak pernah takut untuk bermimpi dan terus menghidupi mimpi..

Sayapmu belum patah ven..
kamu benar, impian ini belum selesai..
Selamat berkarya.. Sang Penulis Mimpi!..

just keep flyin'.
Joseph Bagus T.W.

Malaikat di bumi

Hari ini saya bertemu malaikat,
Sesosok laki laki tua dengan tubuh renta yang terus ia tutupi. Ia yakinkan saya ia kuat dan sanggup menghidupi anaknya. Baginya anak adalah hidup. Anak adalah kebanggaannya. Ia inginkan anaknya berhasil, meski harus pergi jauh dan meninggalkannya.

Padahal ia sendiri mengaku, semakin tua, semakin ia rindu berada dekat dengan anaknya. Ada kerinduan tersendiri saat kumpul dan makan bersama. Semakin lanjut semakin ia butuhkan anaknya. Tapi dengan senyum ia hantarkan anak pergi jauh, bukannya tak ada pilihan, tapi ia ingin anaknya bahagia, menghidupi kedamaian meski harus merenggut kedamaian dirinya.

Hari ini saya bertemu malaikat,
Berpakaian putih, tanpa sayap maupun lingkaran di kepalanya. Ia tak bisa terbang, namun dukungannya membuat saya terbang tinggi menggapai impian. Ia tak punya kuasa keajaiban, namun kata katanya mencelikkan mata saya dan memampukan saya membuat keputusan yang mendatangkan keajaiban dalam hidup.

Ia baik, sama seperti Tuannya, memberi kehendak bebas kepada manusia. Merasakan kesenangan saat saya berhasil mewujudkan impian meski impian itu kadang menyakitinya. Ini bukan tentang dirinya, tapi tentang saya. Ia hadir untuk memberi kebahagiaan. Bahagiakah dia? Atau ia bahagia karena saya bahagia?

Hari ini saya bertemu malaikat,
Ia hadir melalui senyuman dan kata kata. Rangkaian huruf memacu saya untuk maju. Yang menepuk diri saya dan ada untuk saya. Yang hadir dan seolah berkata “kamu masih sahabatku meski kamu gagal, aku masih menemanimu meski kamu pecundang.”

Saya kira saya sudah mati! Bukankah malaikat harusnya di surga? Namun malaikat ini hadir dan menciptakan surga di sekeliling saya.

“Oleh oleh dari Surabaya”

Gagal

Saya gagal, sudah lama perasaan ini tidak saya munculkan, dibunuh dengan pedang keoptimisan yang selalu ada bersama saya. Praktisnya saya merasa tak pernah gagal. Tak pernah ada masalah yang tak bisa saya pecahkan. Tak pernah orang melihat saya menangis dan menyesal. Buat saya itu tindakan sia sia.
Pernah saya meraih angka 23 dalam UTS psikologi. Jika Michael Jordan menanggap angka itu sebagai keberuntungan, buat saya itu kartu mati. Nilai sempurna dalam UAS pun tak kuasa meloloskan saya dari kegagalan. Saya sedih tapi tak kemudian menangis dan meratapi nasib. Di kepala saya hanya ada satu pertanyaan, “what next ven?” ya apa yang harus dilakukan sekarang?

Teman saya pernah bertanya, pernahkah saya merasa buntu dan tak tahu harus berbuat apa? Terpuruk dalam kegagalan? Saya hanya diam, buat saya kegagalan itu sukses yang tertunda jadi saya tak pernah melihat sesuatu itu gagal.
Namun jiwa itu bangun dari mati surinya saat saya menjalani tes TOEFL. Sebagai salah satu pra syarat masuk S2, saya harus menjalani tes TOEFL dan karena penuhnya tes di Jakarta, saya harus mengambilnya di Surabaya. Sendiri, pergi ujian dan pulang. Buat saya ga masalah, saya terbiasa sendiri, bahkan menikmati kesendirian saya. Segala yang saya butuhkan pun telah diatur sedemikan rupa, mulai dari antar-jemput, tempat tinggal, lokasi tes sampai acara jalan jalan. Semua terjadwal dengan rapi berkat sahabat sahabat setia saya.
Lalu di mana gagalnya?
4 jam ujian TOEFL, semua menggunakan cara baru, reading, listening, speaking dan writing. 2 minggu lebih saya mempersiapkannya dan entah kenapa saya merasa ga yakin. “I felt like failing” pesan singkat ini saya sebarkan ke orang orang yang peduli. Saya berasa tidak mengerjakannya dengan sempurna. Saya merasa tidak adil kapasitas kemampuan saya dinilai berdasarkan hitungan detik. Saya kecewa karena kalah dengan waktu, kekesalan yang tak mendasar, karena sejak awal, saya tahu aturan mainnya. Semua akan dibatasi dengan waktu.
Seusai tes teman teman saya datang menjemput. Ajak saya makan sekalian reuni. Mereka baik, hal terakhir yang saya inginkan adalah sendiri. Tapi sayangnya mereka tak bisa menemani saya sepanjang malam. Pulang makan, saya kembali ke tempat yang tak saya kenali. Sendiri.
Saya mau menangis, menumpahkan kekesalan saya. Tapi kata kata itu terus datang “what next ven?” saya tahu menangis pun sia sia. Sedih rasanya saat menyadari kalau saya sendiri tak mengijinkan diri ini untuk rapuh. Semua orang yang saya hubungi tak ada yang percaya, sepertinya tak mungkin vennie bisa gagal.
“itu cuman perasaan anda, ga lah pasti lulus kok.”
“Aah..siapa tau cm perasaan lu doang. Tetep semangat yeh.”

Saya jadi mikir sih, emangnya separah tu ya?
Apakah saya benar benar gagal, atau hanya perasaan karena sendiri? Kalau dihitung hitung, tidak semua area saya gagal, reading berjalan biasa, listening mampu saya taklukkan, kekesalan memuncak saat speaking, namun itupun hanya segelintir, satu dua dari total 9 soal dan writing saya tutup dengan sangat manis dan puas. Lalu gagalkah saya?
Mungkin buat saya kegagalan bukanlah masalah angka, tapi masalah mengalahkan diri sendiri. Saya gagal karena tak mampu menguasai diri saat ujian. Melihat hitungan detik, saya bukannya mengejar, malah gelagapan dan tak tahu harus berbuat apa. Akhirnya waktu terbuang percuma. Saya seperti ksatria yang kembali ke istana dengan duka karena hanya mampu melukai naga, tidak mampu membunuhnya. Apakah naga itu akan kembali mengancam ketentraman istana? Saya tak tahu, sama tak tahunya tentang kesuksesan nilai yang saya raih. Saya bisa pasrah dan berharap dengan yang diatas.
Teman saya bilang kadang kala rasa kegagalan itu perlu dibiarkan ada, “dinikmati”, dibiarkan sebentar untuk kemudian dibunuh. Saya akui saya gagal, dan tak ada yang salah dengan rasa kegagalan. Rasa itu justru membuat saya ingat untuk melihat ke atas dan berusaha mengasah pedang saya lebih tajam lagi.
4:13 pm

Baca aturan pakai

Saya selalu mengaku tahu benar kondisi tubuh saya. Selama bekerja di lapangan, saya jarang sakit. Biasanya saat badan melemah saya langsung melakukan kegiatan ekstra. Makan banyak, minum vitamin dan istirahat cukup. Penyakit yang hinggap pun tak jauh dari radang tenggorokan dan gusi bengkak, maklum gigi geraham bungsu saya baru mau tumbuh.

Berhubung dulu saya kerja di lingkungan medis, saya jadi sok tahu. Malas rasanya ke dokter, kalau tidak enak badan saya langsung ke gudang obat. Antibiotik generik amoxicillin, vitamin C dan SF itu obat langganan saya. Minum 2-3 hari sembuhlah sudah.

Obat itu tak pernah saya habiskan, meski jelas jelas diberitahu antibiotik harus dihabiskan, tapi saya tetap membandel. Saya sudah sembuh kok, itu alasan pertama. Sugesti sehat setelah minum obat melanda. Kedua setahu saya, sering makan antibiotik bisa memerikan kekebalan dalam tubuh. Saya tidak mau kekebalan itu muncul, saya mau bertahan dengan obat generik tidak dengan obat paten dengan dosis tinggi. Ketiga, saya malas minum obat.

Beberapa hari lalu radang tenggorokan kembali menyerang. Saya tahu, yang dibutuhkan hanyalah amoxicillin. Mau ke dokter malas, ke apotik, hmm setahu saya antibiotik hanya bisa dikeluarkan dengan resep dokter dan gudang obat cikarang jauh sekali. Huh saya butuh obat bukan dokter. Akhirnya setelah berstrategi, 10 butir kaplet Lapimox 500 berhasil saya dapatkan.

Iseng iseng saya ceritakan ritual minum obat saya kepada seorang dokter, dan tanpa diduga saya dikecam habis-habisan. Jika yang dihindari adalah kekebalan, justru dengan tidak habisnya antibiotic diminum lebih mendorong terbentuknya kekebalan tersebut. Virus maupun bakteri dalam tubuh tidak habis terpangkas sehingga mereka bertahan dan membuat kekebalan. Hihi lucu ya, anggapan yang selama ini saya pegang ternyata 100% salah. Apa yang saya hindari justru yang saya dapatkan. Saya langsung merasa sok tahu dan malu dengan mereka yang bertahun tahun belajar mempelajari tubuh manusia. Jadi selama ini saya salah.

Saat ini saya sudah sembuh, obat habis saya minum, dan mudah mudahan semua virus dan bakteri berhasil dimusnahkan. Moral yang saya dapat bahwa setiap obat mempunyai aturan. Dia bisa menjadi penolong maupun pembunuh. Seyakin apapun saya dengan khasiat obat tersebut, tetap saja dokter lebih mengerti. Makanya jangan lupa baca aturan pakai.

4:54 pm

Sayap sayap patah

Burung penghuni rumah diam berteger sambil memandang langit. Hatinya ingin terbang, ingin mengapai angkasa. Tak ada rantai atau sangkar yang menghalanginya. Namun sayapnya patah. Sengaja dipatahkan agar dia bisa menghuni rumah, memberi kepastian untuk ada saat tuannya pulang ke rumah.

Naluri liar memburu makanan telah punah seiring sodoran makan dan minum yang selalu siap di rumah. Ia hidup untuk tuannya.

Rindukah ia akan derunya angin menyusup dibalik sayap? Menatap indahnya dunia dari puncak langit? Matikah ia? Apakah hidupnya berakhir saat sayapnya patah? Atau ia sudah bosan dengan ketinggian dan memutuskan untuk hidup tenang di darat?

Sadarkah ia saat sayapnya patah? Setujukah ia? Pengabdiankah? Atau pengorbanan? Bagaimana jika tuannya lah alasan ia untuk terbang. Tanpa sang Tuan ia tak akan bisa terbang. Bersama tuan berarti mematahkan sayap sayap kemerdekaan.

12:52 pm

Caged Bird – Alicia Keys

Right now I feel like a bird
Caged without a key
Everyone comes to stare at me
So much joy and rivalry
They didn’t know how I feel inside
Through my smile I cry
They don’t know what they’re doin’ to me
Keeping me from flying
That’s why I said that
I know why the caged bird sing,
only joy comes from songs
She’s so rare and beautiful to others
Why not just set her free
So she can fly……
Spreading her wings and soul
Let her fly……
To the whole world to see
She’s like a caged bird

bohong-tidak bohong, jujur-tidak jujur

Adalah keluarga malas yang sedang menantikan lamaran dari keluarga bohong. Melalui telepon, malas menyarankan agar bohong datang setelah makan siang karena malas malas menyiapkan makan siang. Bohong setuju namun datang jua saat makan siang karena dia berbohong. Sebagai saksi, didatangkan ketua RT yaitu keluarga lupa. Proses berjalan lancar, meski beberapa kali lupa lupa dengan tugas yang sedang dijabaninya. Bahkan lupa lupa dengan istrinya sendiri yang dia sangka anaknya. Tak lama anak gadis malas hadir, rupanya ia baru bangun meski hari sudah siang. Ibu malas pun memuji sifat anaknya yang malas, karena dianggap sesuai dengan karakteristik keluarga mereka. Saat yang dinanti tiba, sampai akhirnya diketahui kalau bohong berbohong. Kedatangannya ke tempat malas bukan untuk melamar, bohong bahkan tak punya anak laki laki. Bohong hanya ingin mendapatkan makan siang gratis.

Penggalan komedi ini merupakan babak akhir dari Extravaganza Senin 4 September 2006 di Trans TV. Sebuah penutup yang manis, menggelitik dan cerdas. Lucu sekali rasanya, tiga keluarga tersebut bersikap jujur sesuai dengan karakteristik mereka. Bahkan keluarga bohong pun jujur. Jika dibandingkan dengan kehidupan sehari hari, alangkah menariknya jika kita bisa berlaku seperti itu. Sayangnya kita lebih sering bersandiwara dan berakting.

Di hadapan paman, saya selalu menjadi rajin, berlaku sibuk, mengerjakan ini itu. Tapi saat dia tidak ada, saya dan teman yang lain memikirkan adakah kemungkinan paman saya keluar kantor hingga saya bisa pulang lebih cepat. Yah, saya sebenarnya si malas. Peran ini juga saya aktingkan saat terpilih jadi kandidat ketua MPK jaman SMU dulu. Demi mendapatkan suara di kalangan guru, saya langsung duduk paling depan, berpakaian rapi, baju rapi masuk ke dalam rok, persis jojon dan memperhatikan sungguh sungguh. Semua agar mereka mengenali saya sebagai si rajin.

Saya sekaligus sudah menjadi si bohong, membohongi orang lain, demi keuntungan sendiri. Pastinya ada maksud dibalik peran yang saya mainkan, entah secara fisik maupun jiwa, pokoknya mendatangkan kebaikan untuk saya. Apakah saya sadar sedang berakting, tentu saja. Saya lakukan ini dengan kesadaran yang prima. Cape? Kadang kadang, tapi bersikap jujur dalam masyarakat sepertinya sulit. Saya tidak bisa menjadi malas, bohong dan lupa, mereka menuntut saya untuk rajin, jujur dan selalu ingat. Penilaian orang sekitar menjadi penting karena saya mahluk sosial.

Tuntutan ini semakin parah saat saya mulai berbohong pada diri sendiri, saya jadi tidak mengenali siapa saya. Saat saya berbohong pada orang lain, mereka tak akan tahu kalau saya sedang berbohong. Tapi lain saat saya berbohong pada diri sendiri, saya pribadi tahu mana yang benar dan tidak benar, bahkan tahu bahwa saya sedang berbohong. Jika berbohong pada orang lain digunakan untuk mendapatkan keuntungan bagi diri sendiri, saya tidak tahu siapa yang diuntungkan saat saya berbohong pada diri sendiri.

Dalam praktiknya saya selalu menjadi orang yang mempunyai standart ganda. Saya orang yang suka merencanakan sesuatu, tapi sering telat dan tidak menghargai waktu. Saya mempunyai mimpi besar tapi malas bekerja keras. Saya orang cengeng yang tidak menangis saat pemakaman dan perpisahan. Seperti teman saya seorang penyendiri yang ingin ditemani, yang tak mau mengakui bahwa sebenarnya ia tak ingin sendiri.

Andai saja saya bisa memerankan peran seperti babak penutup extravaganza diatas. Alangkah sempurnanya, saya bisa jujur terhadap diri saya sendiri dan juga masyarakat. Sayangnya saya hidup bukan untuk diri sendiri, tapi untuk mereka yang ada di sekeliling saya.

22.40 pm

Menunggu: pilihan atau adaptasi?

Menunggu buat saya kegiatan yang paling membosankan dan tidak efektif. Menunggu apalagi sendiri tanpa melakukan apa pun sama saja dengan membunuh waktu. Kalau ada pilihan, saya memilih untuk tidak menunggu. Itu sebabnya saya lebih dikenal dengan miss late. Bukan penggemar kopi latte, tapi tukang telat. Yah, saya tidak suka menunggu, lebih baik orang yang menunggu saya hehehe egois memang.


Saat terjebak dengan situasi menunggu, akhirnya saya pun jadi lebih cerdik. Dengan alasan tak mau menyia-siakan waktu, sebuah tas besar selalu mendampingi saya. Isinya jauh dari kosmetik, dan tissue (Jangan pernah minta tissue sama saya yah, karena pasti ga ada =P). Tapi air minum, agenda beserta bolpen tali, buku bacaan, Ipod, PDA dengan mainan virtual, kamus, diary dll. Hihi itu perangkat saya.

Saya suka bingung dengan orang yang bisa tahan dan nyaman dengan menunggu. Lebih aneh lagi saat tak ada kegiatan yang dilakukan kala menunggu. Hanya diam dan yah….menunggu. Apalagi kalau yang bersangkutan mulai menikmati masa menunggu, diam, sunyi, sendirian.

Kok bisa ya? Apa ini berhubungan dengan kebiasaan dan adaptasi aja. Terlalu sering menunggu kemudian membentuk pola adaptasi, sebuah defense mechanism. Menunggu tidak lagi menjadi pilihan, tapi sebuah kebiasaan yang akhirnya menjadi kenikmatan sendiri.

Tapi harus diakui, menunggu memang ada manfaatnya, terutama untuk urusan kesabaran. Menunggu dan kesabaran seperti kembar siam. Saya, karena tidak pernah melatih kemampuan menunggu, jadinya lebih tidak sabar. Saya cenderung agresif karena diam merupakan tindakan yang fana untuk saya.

Apa yang ditunggu juga penting. Kalau itu berarti, pasti saya setia menunggu. Meski menderita, menunggu jadi harga yang pantas untuk dibayar, demi sesuatu yang akan datang.

Pada akhirnya menunggu telah menjadi kegiatan yang tak terelakan dalam hidup. Kehidupan manusia diawali dengan proses menunggu 9 bulan 10 hari, atau bahkan 10 bulan dalam perut seperti saya. Untuk masuk sekolah saja saya harus menunggu 4-5 tahun. Pacaran, tunangan, menikah, berkeluarga, pensiun, hingga mati, semuanya diisi dengan kegiatan menunggu.

Saya tidak tahu menunggu itu pilihan atau adaptasi, yang jelas sepertinya saya harus menunggu. Tidak tahu juga sampai kapan harus menunggu, semuanya harus saya serahkan pada Tuhan yang menggerakkan waktu.

11:48 am


Saatnya Berpisah

Kalau sudah besar, kamu ingin punya rumah seperti apa?
“yang kecil, tapi halamannya luas!"
itu rumah impianku, yang setelah dikaji ulang, merupakan titipan dari kedua orang tua. Yup, lebih tepatnya itu rumah impian keluarga saya. Sebuah rumah kecil berhalaman luas.

Saat impian itu menjadi kenyataan, harusnya saya senang. Tapi nyatanya tidak, bukan rumah baru yang jadi masalah, tapi kepindahannya. Bagaimana saya yang terbiasa berada di rumah besar harus pindah ke tempat yang mungil? Yang juga jauh di pelosok dengan menyusuri jalan kampung? Mau ditaruh di mana buku buku saya? Semua koleksi sampah saya? Saya benci perpisahan.

Namun keputusan sudah di sepakati. Untuk pertama kalinya papa memangil semua anggota keluarga dan mengungkapkan semua permasalahan yang biasanya menjadi urusan orang tua. Ini rapat serius pertama di keluarga kami. Dan keputusannya tidak main main, karena menyangkut seluruh kehidupan masing masing anggota.

Saya pindah, setelah 12 tahun rumah ini menjadi perlindungan saya, sekarang saatnya berpisah. Kardus kardus mulai terisi dan diberi keterangan. Setiap hari ada yang hilang, yang berpindah tempat dan berubah. Rumah saya tak hayalnya seperti toko yang baru diserbu pembeli. Rak rak mulai kosong, bahkan beberapa sudah terangkut. Hanya debu cat tembok yang tersisa.

Kedoya raya no.4. Semua orang tahu itu, surat dengan alamat tak lengkap pun sampai dengan selamat. Pak pos sudah hafal, taxi blue bird dengan cepat tiba di rumah saya. Teman teman dari SD sampai SMU bahkan kuliah tahu dimana saya tinggal. Gampang tinggal ikuti jalur metro mini 92. Mau ke mana saja gampang, bus, angkot, taxi sampai bajaj seliwiran di depan rumah. Tapi tak lama lagi semuanya akan saya tinggalkan.

Rumah saya yang baru benar benar kecil dengan halaman yang luas. Rumah kebun, itu julukan yang saya berikan. Singkong, mangga, labu putih, kacang panjang, kailan, caisim, jambu air, cabai, semua bisa dengan gampang di dapatkan. Tinggal petik. Tempatnya sunyi, jalanannya sempit dan jarang ada angkutan umum. Saya belum tahu bagaimana saya akan beradaptasi dengan dunia baru saya.

“ven, tapi sepertinya buat kamu, rumah adalah dimana keluarga mu berada.”
Ya, mungkin teman saya benar. Saya lupa kalau perubahan ini bukan hanya milik saya. Tapi ada keluarga saya, mama, papa, nikki, iroh dan oneng yang juga mengalaminya. Saya tidak sendiri dan dimanapun keluarga saya berada, itulah rumah saya.


11.28 pm
"my sactuary"

Ulang tahun

Pssstttttt!!!! Sebentar lagi saya ulang tahun. Yup ini detik detik menjelang bertambah umur, dari 23 ke 24. Saya tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan, keburu bersemangat hingga menulis menjadi pelarian favorit saya.

24. Kenapa ya saya merasa hari ini spesial, padahal bukan ultah 17, 21, 25 atau 30 yang difavoritkan orang. Entahlah, saya merasa 24 istimewa. 24 bisa melambangkan 24 jam dalam sehari yang saya habiskan, bisa juga mini seri 24 yang memenangi emmy baru baru ini. 24 kelipatan 12 mengungkapkan bahwa ini tahun saya, tahun anjing dalam penanggalan china.

Lalu enaknya ngapain?
Tiap tahun saya selalu diberi pilihan, membiarkannya berlalu begitu saja, atau dirayakan meriah. Atau kadang memilih mengurung diri dan berusaha kontemplasi seperti layaknya pergantian tahun baru. Makanya temen saya sempet tanya “do you expect any phone call at midnight? Or should I let you having time for yourself?” kali ini saya terbuka untuk semuanya.

Ulang tahun, saya harap bukan berarti tahun yang berulang. Hidup, menjalani kehidupan yang sama, masalah yang lama, pencapaian yang tak pernah tercapai. Bukan juga basa basi simbol seremonial yang tidak penting. Ulang tahun harusnya berarti berakhirnya vennie usia 23 tahun. Pencapaian yang harus diselesaikan saat umur 23 sudah selesai. Sekarang saatnya melaksanakan misi di usia 24. Yah, mirip mirip tahun baru, tapi kali ini hanya saya yang merayakannya.

Waktu ini juga saya habiskan untuk melihat apa saja yang saya sudah kerjakan di usia 23. Pacaran kemudian putus, perkembangan baru setelah 10 tahun menjomblo. Melayani Aceh, Poso, Atambua, Jogja kemudian memutuskan berhenti dan sekarang melayani keluarga. Hmm ini keputusan yang besar loh. Saya ibaratkan seperti seekor ulat yang memutuskan masuk dalam kepompong demi impiannya untuk terbang. Yup ini kondisi saya sekarang. Setelah giat keliling Indonesia, sekarang mengkerut, diam diri dalam kempompong. Bersiap untuk terbang dan meraih impian sekolah S2.

20 menit lagi saya ulang tahun. Kalau ada orang yang ingin saya salami, ya saya sendiri. Bukan bermaksud narsis. Tapi saya ingin memberikan tepukan di bahu saya untuk setiap keputusan, kerja keras, keberanian mengambil resiko yang sudah dicapai. Well done ven. Tapi ini bukan akhir, vennie di usia 24 akan menghadapi kehidupan yang lebih tangguh lagi. Dan percayalah, bertambahnya umur berarti bertambahnya potensi dan kesempatan yang dimiliki.


Ulang tahun juga ditandai dengan hujan hadiah. Siapa yang tidak mengharapkan hadiah di hari jadinya. Dan buat saya tidak ada yang kebetulan, dari tadi saya sudah dihujani berbagai kejutan. Pesanan buku via internet tiba malam tadi, bungkusnya utuh, tidak saya sentuh. Mba Ferina bilang, itu buku koleksinya yang terpaksa dilego. Tersampul rapih dengan tanda tangan pengarang didalamnya. Besok pagi pun saya harus tanda tangan kontrak pesanan mobil kantor. Mobilnya siap dilihat dan tinggal mengurus STNK. Hadiah sahabat, jauh sebelum ulang tahun pun masih terbungkus rapi. Sengaja semua akan saya buka saat jam 12 nanti.

Ini masih tengah malam, tapi saya keburu bahagia, entah kegembiraan apa yang akan menyusul saya esok pagi, seharian penuh. Yang jelas saya bahagia dan mencintai hidup ini.

Selamat ulang tahun vennie
11:55 pm

Life after I say I do…

“Ngurus gw gampang kok, apa aja mau!”

Hmm… inikah gambaran laki laki tentang pernikahan? Bahwa nantinya akan ada yang mengurus kehidupannya. Memasak makanan favoritnya, makanan instant sekalipun. Yang siap menyapa saat pulang kantor sambil menyuguhkan es teh manis? Yang akan kau panggil istri?

Terakhir kali saya berhubungan saya dipuji karena kedekatan saya dengan anak anak. “Kamu bisa jadi ibu yang baik” begitu pujiannya. Buat saya ini lebih dari sekedar pujian, tapi sebuah tuntutan, bahwa setelah mengucapkan “saya bersedia” saya harus menjadi ibu yang baik, bisa mengurus anak. Saya harus bisa menjadi pengurus rumah yang baik, seorang pembantu rumah tangga yang dibayar dengan panggilan istri.

Semua orang tahu kalau saya jauh dari gambaran istri ideal. Saya punya pandangan sendiri. Kata orang saya tidak membutuhkan orang lain, yang jelas saya tidak mau tergantung dengan orang lain. Kalau bisa saya kerjakan sendiri, kenapa butuh orang lain? Saya tidak pandai memasak tapi brownies pertama buatan saya mampu membuat orang ketagihan.

Saya tidak jago dalam urusan rumah tangga. Tapi semuanya bisa dipelajari. Nyapu, ngepel, masak, gosok, cuci piring, cuci baju. Semua itu hal mudah jika kamu mau mempelajarinya. Kalau sekarang saya tidak melakukannya, karena ada oneng dan iroh yang bekerja untuk itu.

Saat di aceh saya cuci, jemur dan gosok baju sendiri. Di sana juga saya sanggup memasakkan mie instant untuk anak2 pos dan membuat es buah tanpa es karena minimnya es di Pantai Barat. Di Sydney pun saya pernah masak sup jagung, semua dari bahan alami, bukan kalengan. Di mulai dari merebus ayam untuk mendapatkan kaldu, mengupas jagung, mencincang daging, sosis dsb.

Tapi itu bukan modal untuk menikah. Bukankah urusan rumah tangga harusnya menjadi urusan berdua? Bukankah rumah itu ditinggal berdua? Lalu kenapa pekerjaannya harus dilimpahkan ke satu pihak saja? Semua orang dewasa harusnya bisa mengurus rumah, apalagi jika ia berencana tinggal sendiri tanpa orang tua.

Bagaimana jika saya diminta untuk tidak bekerja setelah menikah? Ini lebih sulit lagi, mungkin pihak laki laki merasa pendapatannya cukup untuk menghidupi keluarga. Tak perlu lagi penghasilan tambahan. Istri cukuplah di rumah, hidup santai berbahagia. Biarlah suami yang stress memikirkan pendapatan. Tapi uang bukanlah alasan saya untuk bekerja. Saya bekerja untuk memenuhi panggilan hidup, pencapaian pribadi. Bekerja adalah hidup itu sendiri. Bukan bermaksud mengecilkan pekerjaan ibu rumah tangga, iya itu juga sebuah pekerjaan. Tapi saya pikir saya memiliki potensi lebih dari sekedar mengurus rumah tangga.

Saya tidak tahu kompromi seperti apa yang akan saya lakukan saat menikah nanti. Bisa jadi nanti saya malah jadi ibu rumah tangga sepenuh waktu dan menguburkan gambaran idealis yang tertoreh disini. Atau bisa juga saya tidak akan pernah menikah karena tak ada kata sepakat.

Penutup
Tuntutan yang sama juga diberikan perempuan terhadap suami pada umumnya. Saya harus jujur, pasti saya menginginkan suami yang berpenghasilan lebih dari saya. Bahwa nantinya beban kehidupan sebagian besar ditanggung olehnya. Gaji saya? Hanya sebagai tambahan atau kalau tidak diperlukan, gaji itu akan saya pakai untuk keperluan pribadi saya. Beli buku, DVD, komik, baju, sepatu dan jalan jalan. Saya tidak pernah memikirkan bahwa gaji saya akan dihabiskan untuk membayar kredit rumah, mobil, beli susu anak.

Mungkin tuntutan ini harus di bayar dengan sebuah pengorbanan.

11:57 am
“dalam kepompong”

15 April 2007

Merayakan perbedaan

Mana yang lebih nyaman, bersama orang yang mempunyai karakter sama dengan kita? Atau yang bertolak belakang? Persamaan tentu lebih mudah, karena banyak kata sepakat disana. Orang bilang persahabatan dimulai dari persamaan. Entah secara karakter atau kebetulan. Tapi terkadang bersama orang yang sama membuat saya merasa bercengkrama dengan diri saya sendiri. Seperti melihat ke cermin dan menumpuk ego dalam diri.

Lain halnya dengan perbedaan. Perbedaan membuat keragaman. Banyak orang mengatakan perbedaan itu baik karena bisa di padu padankan, bisa saling melengkapi. Bagai potongan puzzle yang begitu berbeda namun dapat membentuk rangkaian gambar indah.

Apakah si hitam melengkapi si putih?
Bisa jadi, putih terlihat lebih terang karena ada hitam sebagai perbandingan. Si hitam di tempat satu bisa menjadi si putih di tempat lain. Semua karena perbandingan. Begitu juga dengan Kurus – gendut. Tanpa si gendut, tak mungkin si kurus hadir.


Yang jelas perbedaan membuat saya belajar toleransi. Mendudukan ego dan memberi peluang kepada orang lain. Memberi kesempatan bahwa mungkin yang ada pada saya bukan yang terbaik. Toleransi bukan berarti kalah, bukan juga mengalah. Namun lebih kepada berbagi.. Tapi jangan salah, saya tidak mudah mengalah, tak akan ada toleransi tanpa perdebatan.

11:58 am
“ulat dalam kepompong”

Positivism

Duh dimana mana macet!!!
Tapi karenanya saya jadi semakin cerdik. Saya jadi jago bermain strategi, tahu jam berapa harus berangkat, menghindari jalan di jam tertentu, berkenalan dengan jalan tikus dan terakhir hafal dengan daerah dan jadwal 3 in 1. Menyebalkan? Tentunya. Pasti karena banyak aturan kan, lalu kita ga melihat pentingnya aturan itu dibuat. Makanya muncul istilah, di Indonesia, aturan dibuat untuk dilanggar.


Saya sih ngambil positifnya aja, efek dari ruwetnya lalu lintas Jakarta, saya jadi banyak teman. Bingung? Masalahnya saya paling ga inget jalan, wong bedain kanan kiri aja susah, apalagi hafalin jalan. Tapi saya berusaha, makanya ada teman teman setia yang selalu saya hubungi saat tersesat atau mau menempuh tempat asing. Mereka jadi terbiasa dan saya jadi semakin akrab.

Lalu bagaimana dengan waktu yang terbuang percuma di jalan, ga efektif sekali! Saya enjoy aja tuh, rumah di kedoya, kuliah di karawaci, skripsi di tebet, kantor di cikarang dan sekarang kota. Hmm jelas donk kalau saya gede di jalan. Separuh hidup saya habiskan di tengah kemacetan. Sia – sia? Itu masalah cara pandang saja. Karena sering di mobil, saya jadi akrab sama radio. Pagi hari ada om Gery dan dongeng tante letta di Female, sorenya Deny dan Irina di Cosmo sudah siap menunggu. Hari senin ada Jazz on my mind dan love songs di Cosmo, Rabu ada Slow Machine di Kiss, dan sabtu ada Rhytm of Love Mustang. Saya ga berasa sia sia tuh ketawa ketiwi sendiri di mobil. Apalagi nyanyi dan teriak. Dari pada sewa ruang karaoke atau nonton bioskop? Buang uang kan.

Sering di jalan juga saya habiskan untuk melihat kehidupan bangsa saya. Dari pengemis yang semakin beragam. Bayi menangis, anak kecil, ibu hamil, orang cacat, anak muda tampang kriminil dan sekarang ada trend baru, nenek nenek renta. Mereka menempel di jendela, dengan wajah memelas sambil mengacungkan tangan. Ada juga tukang Koran, pedagang asongan, pengamen, tukang rokok, sampe pelacur pinggir jalan. Saya kadang mikir, mereka juga punya kehidupan, punya perut yang juga harus diisi sama seperti saya. Punya impian, cita cita dan problema. Punya hati dan punya cinta.

“Ini Indonesia!” ujar saya tiba tiba. Ini potret realita bangsa kita. Penuh masalah dan sepertinya ga ada jalan keluar. Tapi bukan berarti ga ada kan. Saya sering dengar bagaimana orang protes, kritik, dan mulai membandingkan Indonesia dengan tempat lain. Kalau sebagai usaha memperbaiki keadaan sih tidak apa apa, tapi untuk sekedar ngomel ngomel ga jelas? Duh neng, hidup ini dah rumit, SBY dah pusing mikirin sejuta problema negara, ga usah lagi deh nambah beban hidupnya. Lagipula gerutu kita tidak merubah sesuatu kok. Lebih baik simpan tenaga untuk suatu hal yang berguna. Bersikap positif misalnya.

Saya bukannya pasrah dan tanpa perlawanan. Hanya bermain cerdik dan bertindak dengan tepat. Anehnya semakin banyak masalah di Indonesia, saya semakin cinta. Mungkin karena tahu ada kesempatan buat saya untuk melakukan perubahan. Lewat profesi saya sebagai jurnalis misalnya. Semakin sering bencana datang, semakin banyak air mata yang saya kucurkan. Semakin dalam pengabdian saya untuk Indonesia.

Saya tidak anti luar negri. Buktinya saya sedang mempersiapkan sekolah lagi di Amerika. Tapi saya berjanji untuk kembali. Pergi tuk kembali ke negara saya. Kayaknya ini panggilan ya, atau bisa juga pilihan?

Waktu di Aceh, saya sering kali di sangka antara orang Singapura atau Vietnam. Mungkin karena mata sipit dan sejuta bangsa ngumpul di Aceh, jadi mudah saja identitas saya ketukar - tukar. Tapi saya tetap yakin dan bilang saya orang Indonesia. Kenapa ya? Karena lebih bangga aja.
Saya tidak akan bilang Indonesia itu bersih dan orangnya ramah tamah, karena saya bukan dinas pariwisata. Tapi saya akan bilang kalau Indonesia itu tempat kelahiran saya, tempat dimana saya tinggal. Tempat dimana impian saya tertanam.


Saya tetap bangga ngaku orang Indonesia, meski Indonesia miskin, banyak korupsi, banyak terror, banyak ketidakadilan. Saya tetap suka meski ada kriminalitas, bencana, krisis moneter. Ini jiwa patriotik saya. Saya cinta indonesia karena Indonesia tetap menerima saya meski saya tidak sempurna. Indonesia tidak sempurna tapi kita bisa melakukan perubahan.

Selamat ulang tahun Indonesia,
Aku mencintai mu.
1:55am